Hnews.id | Beberapa waktu lalu, Ibu saya (yang kebetulan seorang pensiunan guru), tiba-tiba saja tertarik dengan pemberitaan di beberapa stasiun tv mengenai kasus guru dan orang tua wali murid. Belakangan ini memang hampir sebagian media selalu menyajikan konflik tersebut.
Prihatin…. begitu komentarnya. Kemudian Beliau bercerita tentang masa lalunya ketika menghadapi anak-anak yang memang ditakdirkan untuk dididik, dibina dan diarahkan, mulai dari kebahagiaannya ketika menerapkan sangsi atau hukuman yang mampu memberikan efek jera, sampai bagaimana sulit dan sedihnya menghadapi anak yang tak robah dengan teguran tak juga jera dengan menerapkan sangsi hukuman.
Tapi bukan pengalamannya itu yang akan saya kemukakan disini, sebab bagi saya yang menarik adalah bagaimana menyikapi permasalahan itu secara proporsional.
Seorang Guru mungkin diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi ketika seorang muridnya tidak patuh, tetapi bukan dengan hal-hal yang menyebabkan sakit dan ketakutan, sebagaimana diamanatkan oleh kode etik guru di Indonesia; Guru harus menjalin hubungan dengan peserta didik dengan dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan”.
Pemberian hukuman fisik menurut beberapa penelitian menunjukkan, akan berdampak buruk pada siswa seperti: meningkatnya keagresifan siswa, perilaku merusak (fasilitas sekolah), vandalisme (corat-coret), prestasi belajar menjadi rendah, menurunnya kemampuan perhatian pada pembelajaran, meningkatnya angka putus sekolah, takut sekolah (fobia), menghindari sekolah, rendah diri, ragu-ragu, depresi, keluhan sakit, bunuh diri, hingga pembangkangan kepada guru. Banyak kasus sebagai contoh hukuman “berlebih” yang dilakukan guru terhadap muridnya, dan konsekwensi hukum suka atau tidak tentu harus diterima.
Pada akhirnya, kita mungkin bisa menggambarkan bagaimana perasaan sang guru pada saat dia dimasukan ke bui, sebab secara tidak langsung pemberitaan di media akan menggiring opini untuk berempati kepada sang guru, kemudian memposisikan guru tersebut sebagai orang lemah yang harus kita tolong, tanpa mempersoalkan hal lain yang menjadi akar penyebabnya. Tetapi terpikir jugakah apa yang akan dilakukan seandainya kita sendiri yang melihat kondisi anak kita pulang dengan terisak-isak menahan tangis dengan lebam ditubuh?
Terlepas dari itu semua, tentunya keterlibatan orang tua sebagai pintu pertama dan terakhir penguatan karakter Anak tidak serta merta harus berkelit menutupi kelemahan kemampuan mendidik anak dengan kewajaran, karna prilaku anak di luar lingkungan kadang-kadang menjadi cermin prilaku yang menjadi kebiasaan di rumahnya.
Seperti ungkapan seorang Penyair yang menuliskan, “Anak terlahir seperti daun tak berduri, tugas kitalah untuk menjaganya agar tidak menjadi duri tanpa daun”.
Sejak dini tanpa kekerasan, sebab anak memang bukan untuk dihukum. Salam.
Oleh: Emboy Junawan, Penulis adalah Pengawas Lembaga Bantuan Hukum Anarki Nusantara 56 (LBH Antara 56).
[ary]