Hnews.id | Pembahasan mengenai reformasi administrasi sudah tidak lagi menjadi hal yang baru, baik di dalam praktiknya maupun pendidikan. Pemerintahan Indonesia pun akhir-akhir ini sering menyebutkan tentang reformasi administrasi. Sebelum mencari tahu lebih lanjut mengenai reformasi administrasi, kita perlu mengetahui pengertian administrasi dan reformasi itu sendiri. Administrasi dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh kelompok secara bersama-sama (bekerja sama) untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan (Simon, 1999, dalam Pasolong, 2010). Pasolong juga menambahkan bahwa administrasi ini harus efektif, efisien, dan rasional. Umumnya administrasi ini dilakukan oleh kelompok pemerintah, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan reformasi sendiri, menurut KBBI (2020), adalah sebuah perubahan drastis, yang memiliki tujuan untuk perbaikan di berbagai aspek dalam masyarakat ataupun negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa reformasi administrasi ini adalah perubahan drastis bentuk tindakan yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Administrasi publik ini sudah memaninkan peran penting dalam kehidupan bernegara sejak antara tahun 1940 hingga 1970 (Onder dan Nyadera, 2019).
Administrasi ini sering mengalami tantangan, seperti masyarakat yang tidak patuh karena kekakuan peraturan administrasi. Administrasi sering dianggap kaku dan merepotkan karena proses yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuannya pada umumnya cukup panjang. Styhre (2007) dalam tulisannya mengatakan bahwa sebuah sistem administrasi harusnya tidak memiliki peraturan yang panjang dan berbelit. Ia juga menambahkan bahwa administrasi, khusunya yang bergerak di bawah pemerintahan, harusnya bersifat lebih kreatif dan inovatif. Tidak hanya kreatif dan inovatif, administrasi biasanya masih kurang menunjukan prinsip-prinsip demokrasi seperti transparansi, prinsip legalitas, hingga efisiensi. Prinsip-prinsip tersebut yang kemudian menjadi dasar reformasi administrasi di beberapa sistem administrasi.
Hal lain yang menjadi tantangan untuk administrasi adalah adanya keberagaman, akuntabilitas, masyarakat itu sendiri, pihak swasta, birokrasi yang dibuat-buat, hingga adanya pemberdayaan juga menjadi masalah dalam sistem administrasi (Cooper et al, 1998). Tantangan-tantangan administrasi ini juga yang menyebabkan reformasi administrasi terjadi. Adanya tantangan ini menunjukkan bahwa reformasi administrasi tidak dilakukan secara tidak sengaja, melainkan sudah menjadi sebuah perencanaan (Budiman, 2005).
Pemerintah Indonesia sendiri banyak melakukan perubahan aturan yang terkait dengan sistem administrasinya. Selama ini pemerintah Indonesia menerepkan sistem administrasi yang mengacu pada sistem masa kolonial. Pada masa kolonial Belanda, administrasi diartikan sebagai instrumen dari implementasi kekuasaan pemerintah, baik kekuasaan pemerintahan kerajaan maupun kekuasaan kolonial (Gaffar, 1999). Sistem administrasi di Indonesia ini berasal dari sistem administrasi yang sudah ada pada masa penjajahan dan masih diteruskan hingga sekarang, dengan masyarakat yang hanya mengisi kekosongan posisi dari petugas yang sebelumnya menempati di masa penjajahan. Akibatnya, permasalahan yang sering terjadi di sistem administrasi Indonesia adalah birokrasinya tidak terorganisir dengan baik, hingga bentuk administrasi yang tidak semakin efisien, kreatif, dan inovatif. Selain itu mudah sekali terjadi korupsi.
Pemerintah Indonesia sering mendapatkan tuntutan untuk melakukan perubahan pada administrasinya. Menurut Jacob Garry et al (2018), Pemerintah Indonesia ini sering menunjukan ketidakefektifan dalam memberikan pelayanan. Selain itu, adanya ketidaksetaraan juga menjadi permasalahan birokrasi di Indonesia. Pada masa Orde Baru, sistem administrasi di Indonesia sifatnya tersentralisasi. Pemerintahan Indonesia di masa Orde Baru dibuat dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat. Di dekade pertama era Orde Baru, administrasi mulai diperbaiki dan ditingkatkan efektivitas dan efisiensinya agar dapat meningkatkan stabilitas nasional (Mariana, 2006).
Setelah semakin banyaknya negara yang mengalami kemerdekaan, konsep demokrasi pun berubah. Tuntutan bagi pemerintah untuk lebih demokratis dan meratakan distribusi semakin tinggi. Pemerintahan sebelumnya yang tersentral, awalnya dinilai efektif dan efisien hingga masyarakat semakin menuntut pemerintah untuk lebih responsif (Pamungkas et al, 2018). Masyarakat semakin banyak menyuarakan pendapatnya, ditambah dengan adanya kemudahan akses komunikasi. Sebelumnya saat sistem sentralisasi masih berjalan, pemerintah juga sempat melakukan birokrasi privatisasi. Pada masa itu tujuan diadakannya privatisasi adalah sebagai strategi pembangunan melalui bidang industrial. Pemerintah mengupayakan untuk melakukan ekspor yang lebih tinggi dibanding dengan impor (Mariana, 2006). Namun privatisasi ini menyebabkan banyaknya terjadi korupsi dan sogokan. Prosedur administrasi yang panjang dan berbelit-belit menyebabkan kelompok-kelompok tertentu memilih untuk mempersingkat administrasi dengan memberikan sejumlah uang kepada orang yang memiliki wewenang dalam proses administrasi. Hal ini dapat terjadi karena Indonesia tidak sepenuhnya mengerti tentang sistem administrasi. Indonesia mengadopsi sistem administrasi barat dan tidak dipelajari secara mendalam sehingga konsep tersebut tidak dapat dipraktikan dengan benar. Selain itu, masyarakat juga tidak mendapat pendidikan untuk itu dan masyarakat pada saat itu belum siap untuk menyesuaikan (Mariana, 2006).
Salah satu bentuk lain perubahan administrasi yang pernah dilakukan oleh Indonesia adalah menetapkan otonomi daerah. Otonomi ini merupakan bentuk administrasi, yang mana setiap daerah memiliki otoritasnya masing-masing dalam membuat dan menjalankan regulasi. Ada fokus dilakukannya reformasi administrasi seperti ini, yaitu untuk meningkatkan kinerja setiap individu, kelompok, maupun institusi administrasi secara lebih efektif, ekonomis, dan lebih cepat (Caiden, 1969). Penulis melihat perubahan sistem administrasi menjadi otonomi ini karena besarnya wilayah Indonesia. Karena luas dan besarnya wilayah Indonesia, sistem administrasi sebelum-sebelumnya banyak dirasa tidak efektif dan efisien (Thoha, 1987; Dwiyanto et al, 2002). Pembagian wilayah-wilayah administrasi kemudian dipilih untuk menjadi solusi dari adanya masalah luas wilayah Indonesia.
Perubahan administrasi dalam bentuk otonomi daerah ini memang sesuai dengan fokus reformasi administrasi. Namun ada kekurangan dari bentuk administrasi ini, yaitu perkembangan di setiap daerah di Indonesia menjadi berbeda-beda. Untuk mewujudkan administrasi otonom ini, setiap daerah harus mampu melakukan bargaining dengan negara (Sandiasa et al, 2015). Tidak semua daerah dapat mendapatkan akses yang sama atas wewenang untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah, yang menjadi tujuan diadakannya administrasi. Selain itu, otonomi ini tidak dapat diartikan bahwa daerah bertanggung jawab dan berhak penuh atas sumber daya yang mereka miliki.
Pemerintah pusat masih memiliki kepentingan di daerah-daerah, terutama yang memiliki sumber daya besar. Sumber daya alam pada dasarnya adalah milik negara. Konstitusi telah mengatur tentang pengelolaan sumber daya ini adalah untuk menjamin kemakmuran rakyat (Nurjaya, 2014). Pemerintah daerah tidak dapat sepenuhnya memanfaatkan sumber daya yang dimiliki daerahnya karena konstitusi tersebut. Selain itu, pemerintah pusat juga memiliki sumber daya ekonomi, yang masih banyak dibutuhkan oleh pemerintah otonom sehingga pemerintah otonom akan tetap memiliki ketergantungan pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah otonom pun sering mengalami kesulitan untuk mengembangkan sumber dayanya karena keterbatasannya.
Ada empat hal yang sering menjadi perebutan pemerintah pusat dan otonom, yaitu sumber daya politik, informasi, sumber daya legal dan konstitusional, dan juga sumber daya keuangan (Elcock, 1994). Namun tetap saja setiap tindakan yang diambil oleh pemerintah pusat dan otonom ini bertujuan untuk pembangunan. Ini yang menyebabkan administrasi sering dianggap sebagai pemeran utama dan satu-satunya untuk pembangunan (Budiman, 2005). Administrasi ini adalah sebuah proses yang dirancang untuk memberikan hubungan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat (Groves, dalam Zauhar, 1996).
Permasalahan lain dari administrasi di Indonesia adalah timbal balik yang sudah penulis sebutkan, belum semua masyarakat dapat merasakannya. Menurut penulis, pemerintah harus mampu merumuskan kebijakan yang efisien untuk administrasi, mampu mengurangi biaya pembuatan kebijakan dan hambatan masuk pasar sehingga dapat menumbuhkan investasi, meminimalisir kemungkinan risiko kebijakan untuk kelompok-kelompok yang menjalankan pasar, efisien dalam manajemen keamanan kebaikan bersama (kesehatan, lingkungan, dan keamanan), dan berusaha meningkatkan netralitas dan menurunkan korupsi (Brata, 2014).
Pembahasan:
Pemerintahan di Indonesia ini masih berbelit-belit, yang mana menurut penulis ini adalah hal yang tidak perlu dan justru menurunkan kualitas kemampuan pemerintah dalam bernegara. Pelayanan ini harusnya sebuah kegiatan yang menguntungkan dan menawarkan kepuasan walaupun tidak ada bentuk fisik dari hasilnya (Kotler, dalam Lukman, 2000). Administrasi ini adalah bentuk pelayanan terhadap publik, sehingga penulis melihat penting untuk negara dalam memberikan pelayanan yang baik. Max Weber pernah memperkenalkan sistem administrasi yang dapat dibilang ideal. Menurut Weber (dalam Saefullah, 2002), Administrasi birokrasi pada dasarnya adalah praktik dari pengetahuan. Lebih jelasnya, menurut Weber administrasi ini harus dijalankan berdasarkan pengetahuan dan kemampuan dari setiap orang yang sesuai dengan posisi yang akan diisi.
Model ideal dari administrasi adalah hal yang masih sulit untuk dicapai di Indonesia atau negara berkembang lainnya. Administrasi ini dapat dikatakan sebagai sebuah instrument of power dari kelompok pemegang kekuasaan (Mariana, 2006). Hal tersebut menyebabkan administrasi ini masih sering menjadi ladang bagi pemegang kekuasaan untuk mencapai agenda pribadi mereka. Administrasi yang profesional belum dapat diterapkan. Secara konseptual, administrasi profesional adalah yang memberikan pelayanan profesional, akuntabel, tidak memihak, dan berlandaskan etika sosial (Mariana, 2006).
Administrasi di Indonesia masih tidak bisa menjalankan administrasi yang profesional karena masih banyaknya lembaga donor yang menunggangi kepentingan administrasi di Indonesia. Selain itu, lembaga-lembaga keuangan besar, seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), juga sering mendesak pemerintah Indonesia dengan tuntutan politik untuk negara-negara berkembang agar melakukan devolusi sistem pemerintahan dan pelayanan publik (Abdul Wahab, 2000).
Pelayanan administrasi publik di negara berkembang memang memiliki perbedaan yang cukup signifikan di mata pembuat kebijakan dan praktisi (Chandler, 2014; Farazmand, 2001). Permasalahan atau tantangan yang banyak dihadapi oleh Indonesia dalam pelayanan publiknya memang dikarenakan masalah-masalah dasar yang sering terjadi di negara berkembang. Sosial politik, ekonomi hingga perkembangan industri adalah hal-hal yang membedakan kemampuan negara maju dan berkembang dalam pemberian pelayanan publik (Kuhlmann dan Wollmann, 2014).
Negara maju cenderung memiliki pembagian sumber daya yang setara, tidak seperti negara berkembang yang perkembangannya sering terpusat. Indonesia dan negara berkembang lainnya kebanyakan masih tidak bisa mengembangkan diri sendiri karena juga masih adanya bayangan pemerintahan kolonial. Pengambilan kebijakan di negara maju juga cenderung lebih cepat karena pemerintahannya sudah terdesentralisasi sehingga dapat mengurangi birokrasi (Onder dan Nyadera, 2019). Namun pemerintahan negara maju juga memiliki tantangan yaitu semakin kecil ketergantungan antara struktur administrasi dengan pemerintah, semakin besar risiko yang harus diambil dalam penerapan administratifnya (Franke et al, 1991).
Negara-negara maju lebih mudah dalam menjalankan administrasi yang profesional karena secara sumber daya masyarakat mereka rata-rata memiliki pendapatan dan daya literasi yang lebih tinggi, perawatan kesehatan yang lebih baik, serta perlindungan kesamaan derajat dibawah hukum (Jreisat, 2010). Umumnya, masyarakat negara maju lebih memiliki kesadaran hukum lebih baik dibanding masyarakat negara berkembang. Hal ini yang menurut penulis penting untuk diperhatikan. Sejak masa penjajahan, masyarakat Indonesia atau negara dunia ketiga lainnya tidak mendapatkan pendidikan yang cukup sehingga pengetahuan mereka terbatas. Ditambah lagi sistem-sistem pemerintahan di Indonesia kebanyakan merupakan terusan dari sistem pada masa kolonial. Tidak ada perubahan yang begitu signifikan saat mengadakan reformasi dalam pemerintahannya. Berbeda dengan negara berkembang yang hanya meneruskan sistem yang sudah ada, negara-negara maju kebanyakan sudah merancang sistem mereka sebelum mengimplementasikannya. Kesuksesan implementasi administrasi yang efektif, efisien dan inovatif di negara maju banyak dipengaruhi oleh perencanaan strategis dan implementasinya dalam jangka-jangka tertentu, yaitu jangka pendek, menengah, hingga panjang (Nyadera, 2017).
Negara maju juga memiliki sistem demokrasi yang lebih stabil dibanding negara berkembang (Onder dan Nyadera, 2019). Sistem demokrasi yang stabil memegang peranan penting untuk sistem administrasi yang lebih baik. Menurut penulis dengan adanya demokrasi yang stabil, masyarakat dapat dengan leluasa mendapatkan hak asasinya dengan perlindungan hukum yang setara antar satu dengan yang lain. Ada hubungan yang signifikan antara demokrasi atau kecenderungan otoriter di tingkat nasional/eksekutif dan perilaku pejabat publik (Onder dan Nyadera, 2019).
Di negara berkembang, para pejabat publik masih banyak yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Hal tersebut didukung dengan adanya kekuasaan politik. Banyak pejabat tingkat tinggi sering mengembangkan perasaan tidak tersentuh dan arogansinya untuk merusak hubungan dengan administrator di tingkat bawah (Onder dan Nyadera, 2019). Selain itu, pejabat tingkat tinggi juga sering menggunakan kekuasaannya untuk membuat kebijakan secara eksklusif. Peranan publik tidak terlalu diperhatikan dan tidak adanya transparansi yang diberikan oleh pemerintah yang menjalankan kekuasaannya secara eksklusif.
Ada beberapa sifat yang sering dimiliki oleh sistem dan struktural sistem administrasi di negara berkembang menurut Heady (2001). Salah satu sifat yang paling menantang adalah administrasi di negara berkembang cenderung tidak memperhatikan hasil. Performa dan efisiensi pekerja di administrasi negara berkembang tidak begitu diperhatikan dan lebih memperhatikan perlunya untuk menghasilkan sesuatu tanpa memperdulikan kualitas hasil tersebut. Selain itu, tidak seperti negara maju, negara berkembang tidak memiliki perencanaan pembangunan yang strategis. Budaya perencanaan merupakan budaya yang penting untuk diperhatikan dan dijadikan sifat penting untuk dimiliki oleh negara maju untuk mencapai kesuksesan (Onder dan Nyadera, 2019). Perencanaan dapat dijadikan pedoman arah untuk menjalankan negara dan administrasi.
Penulis melihat perencanaan ini penting karena sedari awal Indonesia hanya meneruskan apa yang sudah ada, tanpa memikirkan apa yang harus dilakukan kedepannya. Tanpa adanya rencana yang melihat masa depan, inovasi yang merupakan poin penting dalam administrasi tidak akan pernah dilakukan. Selama ini penulis melihat bahwa sistem administrasi di Indonesia ini masih cenderung outdated. Birokrasi yang panjang dan tidak efisien masih banyak diberlakukan. Menurut Onder dan Nyadera (2019), ini juga dipengaruhi oleh adanya overstaffing dan low output. Kedua hal tersebut perlu untuk dikaji ulang oleh pemerintah Indonesia ketika melakukan pembenahan dalam sistem administrasinya.
Overstaffing ini sering terjadi di pemerintahan negara berkembang. Indonesia sendiri, setiap tahun mengadakan ujian masuk untuk menjadi pegawai negeri sipil. Namun yang menjadi permasalahan adalah jumlah pegawai negeri sipil ini tidak berkurang untuk waktu yang lama karena tidak adanya sistem PHK. Semakin banyaknya pegawai negeri sipil ini tidak diimbangi dengan jumlah pegawai yang keluar dari pekerjaannya karena pensiun dan alasan lainnya. Akhirnya ini menyebabkan munculnya free-riders dari pendukung pemegang kekuasaan, yang mengancam akan memindahkan dukungannya apabila mereka tidak diberi reward atas dukungannya (Onder dan Nyadera, 2019).
Politik memang kental apabila kita membahas mengenai sistem administrasi di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Kelompok elit politik akan terus ikut campur dalam setiap sektor dalam kegiatan bernegara. Penulis melihat ini karena hasil peninggalan sistem kolonial yang tidak diubah dengan perencanaan yang jelas. Padahal dengan lebih memperhatikan masalah kepegawaian, permasalahan administrasi di negara berkembang bisa sedikit lebih diperbaiki. Jresiat (2012) juga mempermasalahkan fasilitas kerja yang kurang memadai dan tidak pantas juga sering menjadi masalah yang mempengaruhi hasil kerja administrator publik di negara berkembang.
Kesimpulan:
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa reformasi administrasi tidak terjadi begitu saja, melainkan terdapat faktor pemicu perubahan. Reformasi ini biasanya diadakan karena adanya perubahan dari karakter kepemimpinan hingga masalah sosial yang ada. Indonesia yang merupakan negara berkembang, secara umum masih sering menghadapi permasalahan sosial, yang kemudian berbuntut pada sistem administrasi. Sistem administrasi di Indonesia juga pernah mengalami perubahan, seperti pasca orde baru.
Pemerintahan yang awalnya terpusat, kini daerah-daerah di Indonesia sudah memiliki kemampuan otonominya masing-masing. Namun kemampuan otonomi tersebut juga masih belum dapat dikatakan sempurna karena ketidakmampuan dan dependensi pemerintah otonom terhadap pemerintah pusat. Berbeda dengan negara berkembang, negara maju kebanyakan sudah memiliki sistem administrasi publik yang stabil. Pembagian pemerintahan lokal yang dilakukan sudah banyak berhasil, walaupun risiko yang dihasilkan juga besar.
Menurut penulis, permasalahan birokrasi di Indonesia ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya perbaikan kualitas pemerintahan. Pemerintahan harus mengubah mindset dan prioritas dalam menjalankan pemerintahan agar permasalahan sosial yang ada di Indonesia dapat segera diselesaikan.