Hoaks dan Media Sosial (Analisis Kebijakan Publik)

Hnews.idfoto/2021

Hnews.id | Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hoaks adalah informasi bohong. Perkembangan informasi di era digital tidak dapat dibendung. Adanya media sosial menyebabkan penyebaran berita atau informasi semakin cepat berkembang dan diterima oleh penggunanya. Pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2013).

Hasil survey yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (2017) tentang wabah hoax nasional mendapatkan bahwa 31,9% hoaks diterima dari sosial media. Penyebaran berita heboh menjadi cepat berkembang mengingat 47.1% masyarakat meneruskan berita heboh karena beranggapan berita tersebut diperoleh dari orang yang dapat dipercaya dan 31,9% mengira bahwa berita tersebut bermanfaat. Mengingat tingginya hasil survey tersebut perlu dikaji lebih lanjut bagaimana kejadian tersebut dapat terjadi.

Periode saat ini digambarkan sebagai “era berita palsu” di mana informasi yang salah, yang dibuat secara sengaja atau tidak sengaja, menyebar dengan cepat. Meskipun mempengaruhi semua bidang kehidupan, hal itu menimbulkan masalah. Di negara demokrasi di mana ide bersaing di pasar untuk mendapatkan perhatian, informasi ilmiah yang akurat, yang mungkin sulit dipahami dan bahkan membosankan, dengan mudah dikalahkan oleh berita yang sensasional (Wang, McKee, Torbica, & Stuckler, 2019).

Komputer, Internet, dan media sosial memungkinkan setiap individu menjadi penerbit, yang bisa mengkomunikasikan informasi benar atau salah secara instan dan global. Pemalsuan mempengaruhi ilmu pengetahuan dan informasi sosial dan keduanya telah menjadi sangat interaktif secara global, merusak kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan kapasitas individu dan masyarakat untuk membuat pilihan berdasarkan bukti, termasuk tentang masalah-masalah yang menyusahkan hidup (Hopf, Krief, Mehta, & Matlin, 2019).

Tiga komponen utama yang terlibat dalam pembuatan, produksi, distribusi, dan produksi ulang misinformasi adalah agen, pesan, dan juru bahasa (Wardle dan Derakhshan, 2017). Literatur yang ada dari berbagai disiplin ilmu menjelaskan jenis aktor di balik pembuatan pesan terkait kesehatan di platform media sosial. Fitur deskriptif dari pesan tersebut, daya tahan dan distribusi informasi yang akurat tanggapan penerjemah dan bagaimana kontribusinya pada reproduksi informasi yang salah. Di tingkat mikro, individu yang menerima misinformasi membentuk penilaian tentang kepercayaan pesan, tergantung pada sumber informasi, naratif dan konteks, sedangkan kecenderungan untuk menyebar tergantung pada sejauh mana penerima mencurigai misinformasi tersebut (Karlova dan Fisher, 2013).

Penyebaran rumor (cerita yang beredar atau laporan kebenaran yang tidak pasti atau meragukan) mengidentifikasi “hukum dasar rumor” jumlah rumor yang beredar akan bervariasi dengan pentingnya subjek bagi individu yang bersangkutan di saat ambiguitas bukti yang berkaitan dengan topik dalam pertanyaan (Allport dan Postman, 1947). Kaitan antara dimensi psikologis dan budaya menimbulkan pertanyaan menarik tentang apa yang membuat informasi yang salah begitu mudah disebarkan dan begitu sulit untuk dibantah.

Konsep kredibilitas, seperti menyelidiki secara cekatan dalam penelitian komunikasi, meliputi kredibilitas pesan, kredibilitas sumber, dan kredibilitas media (Metzger et al., 2003). Pada media tradisional, setiap aspek kredibilitas informasi relatif dipahami dengan baik, meskipun ada beberapa kehati-hatian. dibutuhkan. Berbeda dengan media sosial, sangat menantang untuk menilai kredibilitas sumber, karena pengguna sendiri adalah penerbit mandiri, yang tunduk pada bentuk verifikasi atau akuntabilitas faktual. Penelitian ini menyoroti pentingnya kredibilitas sumber dan persuasif sebagai faktor yang mempengaruhi kerentanan pengguna terhadap pesan yang disampaikan (Wang et al., 2019).

Media sosial menjadi disfungsi dikarenakan berita dan pesan-pesannya menimbulkan kegaduhan dan mengancam stabilitas. Penggunaan media sosial tidak luput dari rekayasa atau simulacra, berita palsu atau hoax dipakai sebagai bahan kampanye dan alat propaganda para kandidat dengan kemasan yang sangat halus dan seolah benar. Internet, media online, dan media sosial mempermudah masuknya kepentingan politik dalam media, yang desainnya sesuai dengan kebutuhan tertentu.

Metode penelitian deskriptif kualitatif dengan mengeksplor fenomena dinamika Fake News dan Hoax sebagai sumber Potensi Konflik. Analisis data dilakukan dengan teori dan konsep seperti Teori Komunikasi Massa, Teori Konflik Sosial dan Konsep Keamanan Nasional.

Mengingat bahayanya masalah tersebut jika Teori ini diterapkan dalam pengambilan kebijakan publik maka perlu pemahaman yang benar. Sehingga dalam pembuatan kebijakan publik harus dengan dasar kajian, hukum dan data yang benar dan sebisa mungkin tidak terbantahkan.

Related posts