Hnews.id | Penelitian Tindakan partisipatif atau Participatory Action Research (PAR) adalah metode riset yang dilaksanakan secara partisipatif diantara warga masyarakat dalam suatu komunitas di ranah bawah yang semangatnya untuk mendorong terjadinya aksi-aksi transformatif melakukan pembebasan masyarakat dari belenggu ideologi dan relasi kekuasan (perubahan kondisi hidup yang lebih baik) (Junaedi, 2019).
Whyte (1989) dalam Danley & Ellison (1999) menyebutkan bahwa PAR merupakan metode penelitian yang biasanya berkaitan dengan penilaian diri organisasi, di mana subjek penelitian “berpartisipasi dengan peneliti profesional selama proses penelitian, dari desain awal hingga presentasi akhir hasil dan diskusi tentang implikasi tindakan mereka”. Literatur lain dari Pain, Trust, David, & Rivers (2010) menyebutkan bahwa PAR adalah penelitian kolaboratif, pendidikan dan tindakan yang digunakan untuk mengumpulkan informasi yang akan digunakan untuk mengubah permasalahan sosial atau lingkungan. Ini melibatkan orang-orang yang peduli atau berpengaruh pada suatu masalah yang mengambil peran utama dalam memproduksi dan menggunakan pengetahuan tentang hal itu.
PAR sedikit berbeda dikarenakan beberapa hal yaitu :
- didorong oleh partisipan (sekelompok orang yang memiliki kepentingan dalam lingkup masalah yang diteliti), daripada sponsor luar, penyandang dana atau akademisi (meskipun mereka mungkin diundang untuk membantu),
- menawarkan model demokratis tentang siapa yang dapat menghasilkan, memiliki dan menggunakan pengetahuan,
- bersifat kolaboratif di setiap tahap, melibatkan diskusi, menyatukan keterampilan dan bekerja sama,
- dimaksudkan untuk menghasilkan tindakan, perubahan, atau perbaikan atas masalah yang sedang diteliti.
PAR melibatkan tahapan berulang dari perencanaan, tindakan dan refleksi, dan diikuti oleh evaluasi. Di Didalam PAR tidak ada cetak biru untuk metode atau langkah yang harus dimiliki untuk dilalui (bagian tindakan dari siklus penelitian). Terdapat tujuh tema sentral dalam PAR yaitu :
- Kolaborasi, siapa saja yang akan terlibat dalam penelitian, peran apa yang mereka miliki, perlunya pihak ahli dari luar, prinsip yang disepakati dalam bekerja sama, bagaimana cara kerja dan perencanaan detail tentang penelitian.
- Pengetahuan, apa pertanyaan penelitian yang paling penting yang akan dibahas dalam penelitian, metode apa yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
- Kekuasaan, siapa yang akan menjalankan penelitian dan mengambil keputusan terhadap masalah yang diidentifikasi.
- Etika, bagaimana informasi yang diperoleh dapat dijaga kerahasiaan dan akuntabilitasnya, bagaimana menghindari potensi bahaya yang mungkin terjadi serta memaksimalkan potensial manfaat penelitian.
- Membangun teori, bagaimana proses dokumentasi diskusi, ide dan perkembangan penelitian, siapa saja yang akan terlibat dalam analisis dan interpretasi hasil serta bagaimana output yang akan dihasilkan dalam penelitian.
- Tindakan, perubahan apa yang dibutuhkan berdasarkan hasil penelitian, siapa akan mengerjakan apa dan kemampuan untuk terlibat dalam rencana tindak lanjut serta sumber daya apa yang terlibat, bagaimana membagikan dan mempromosilan hasil penelitian.
- Emosi dan kesejahteraan, apakan penelitian yang dijalankan merupakan hal yang menjadi perhatian dan berkaitan dengan kesejahteraan.
Contoh penelitian dengan menggunakan metode PAR yaitu Psychosocial and community assessment of relatives of victims of extra-judicial killings in Peru: Informing international courts yang ditulis oleh Rivera-Holguín et al., (2019) link dapat diakses melalui https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31264813/.
Penelitian ini bertujuan untuk membahas kompleksitas dokumentasi forensik pelanggaran HAM dengan latar belakang psikososial dan komunitarian.
Metode yang digunakan adalah penelitian tindakan partisipatif (PAR), kerja lapangan, dan diskusi hasil. Pertemuan kelompok dengan para survivor diadakan untuk meninjau cara-cara optimal untuk melanjutkan evaluasi dan penilaian psikologis, pertemuan, waktu, dan jaringan. Dukungan psikososial, pendampingan komunitarian, dan kegiatan peringatan yang diusulkan oleh para survivor juga disertakan.
Penelitian ini dikembangkan dalam tiga fase antara April 2014 dan Oktober 2015. Fase pertama melibatkan pekerjaan partisipatif, perencanaan, dan pengumpulan data. Tahap kedua terkait dengan analisis data dan diskusi yang dilakukan oleh tim lintas disiplin. Selama fase ketiga, hasil divalidasi dengan mendiskusikan hasil awal dengan survivor.
Pendampingan Psikolegal: Model Kolaborasi untuk Pendekatan Integratif penelitian ini mengandalkan pendekatan interdisipliner, berdasarkan interaksi erat antara tim psikologis dan hukum. Para pengacara secara teratur memberikan informasi kepada para survivor tentang proses hukum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan mereka terkait kemungkinan untuk menjalani tes DNA baru. Para psikolog membahas ekspektasi mereka, terutama terkait keberadaan kerabat mereka dalam mengejar keadilan. Proses ini ditangani dalam lingkungan yang penuh perhatian, 11 peka terhadap subjektivitas, emosi, dan budaya. Tim psikologis memberikan informasi rinci kepada pengacara mengenai proses evaluasi, pengalaman emosional para korban, dan membantu pemahaman mereka tentang kesedihan, kehilangan yang tidak jelas, dinamika keluarga dan komunitas. Orang-orang yang selamat dari pembantaian itu berkumpul dan berperan aktif dalam mengusulkan kegiatan pemulihan martabat anggota keluarga mereka, di mana pihak berwenang berpartisipasi. Misalnya, keterlibatan pemerintah daerah dan anggota masyarakat dalam membahas keadilan dan reparasi di majelis umum penting bagi mereka. Waktu dibuat untuk mengenang dan membangun peringatan kolektif untuk tantangan dan upaya mereka. Para survivor juga mempromosikan kegiatan spiritual dan peringatan — mereka menyelenggarakan misa katolik, upacara penginjilan, dan bahkan perjalanan ke Santa Barbara, di mana mereka melakukan upacara simbolik dengan lilin, bunga, dan doa.
Partisipan: Terdiri dari tujuh orang yang telah mencari mencari anggota keluarga mereka yang hilang selama lebih dari dua dekade sebelum mereka mengajukan banding ke ICHR. Saat pembantaian terjadi, dua dari tujuh korban selamat adalah anak di bawah umur. Pada saat penelitian dilakukan, partisipan berusia antara 26 dan 60 tahun, dan mereka tinggal di berbagai wilayah negara. Hanya satu yang selamat saat ini tinggal di daerah Santa Barbara, di mana sebagian besar rumahnya masih berupa reruntuhan.
Instrumen dan prosedur: menggunakan mixed method, dengan mengutamakan wawancara individu dan kelompok semi-terstruktur (Johnson & Onwuegbuzie, 2004) dan wawancara mengikuti struktur yang diusulkan oleh Protokol Istanbul (UNCHR, 1999). Wawancara dilakukan dalam bahasa Spanyol dan Quechua.
Setidaknya dua wawancara individu dilakukan per peserta, dengan klarifikasi dicari antara wawancara (n = 15). Wawancara kelompok juga dilakukan untuk menjelaskan tema-tema yang muncul dan mengeksplorasi temuan-temuan yang kontras melalui diskusi kolektif (n = 3). Wawancara mengumpulkan narasi idiom lokal tentang kesusahan dan penderitaan sosial (Das, Kleinman, Ramphele, & Reynolds, 2000; Nichter, 2010; Pedersen & Kienzler, 2015). Wawancara ditranskrip dalam bahasa Spanyol, berdasarkan rekaman audio wawancara dan kemudian dianalisis menggunakan pendekatan induktif. Dua anggota tim menggunakan pendekatan pengkodean tematik yang muncul untuk mengkodekan wawancara secara independen dan kemudian mereka membandingkan dan mensintesis kedua proposal menjadi satu matriks dengan konsep dan contoh utama (Gale, Heath, Cameron, Rashid, & Redwood, 2013). Informasi kualitatif mengenai dampak psikologis ditriangulasi dengan tiga kuesioner klinis: Kuesioner Kesehatan Umum (GHQ-12); Daftar Periksa Gejala Hopkins (HSCL-25); dan Post-Traumatic Checklist (PCL-C), divalidasi untuk populasi penutur Quechua Peru oleh Pedersen, Gamarra, Planas dan Errázuriz (2001). Konteks antar budaya menantang para peneliti untuk memasukkan alat partisipatif dan untuk mendorong para penyintas agar memiliki peran aktif dalam proses tersebut (Suárez, Balcázar, Garcia & Taylor, 2014). Dengan demikian, garis waktu dan gambar digunakan untuk membantu para penyintas menggambarkan narasi mereka. Penggunaan genogram memunculkan pemahaman yang lebih baik tentang komposisi keluarga dan dampak kekerasan. Karena keluarga Quechua tidak mengikuti model barat dari keluarga biologis standar, membuat genogram bersama orang yang diwawancarai menawarkan konteks yang tak ternilai untuk diingat dan diungkapkan. Ini juga memfasilitasi eksplorasi yang lebih mendalam tentang topik yang relevan selama wawancara (Rempel, Neufeld & Kushner, 2007).
Tujuan, manfaat dan risiko penilaian didiskusikan dengan partisipan dan mereka menandatangani formulir persetujuan sebelum pengumpulan data. Peserta memberikan persetujuan untuk diseminasi hasil penilaian. Penilaian dilaksanakan dengan kemandirian profesional untuk membuat penilaian klinis dan memberikan bukti yang tidak memihak. Setelah setiap wawancara, berikut adalah sesi penutupan dengan pertukaran individu dan kelompok, di mana masalah emosional ditangani. Ini ditambahkan ke kegiatan peringatan penyembuhan yang diusulkan oleh para survivor. Tindak lanjut masih dilakukan.
Penelitian ini telah menerapkan prinsip sentral dalam sebuah penelitian PAR, dimana didalamnya terdapat aspek kolaborasi, pengetahuan, kekuasaan, etika, membangun teori, tindakan, emosi dan kesejahteraan. Rancangan penelitian tindakan partisitif memberi para survivor rasa kendali atas proses dan menggunakan metodologi yang berusaha menjadi elemen penyembuhan itu sendiri. Pendekatan interdisipliner dan kolaboratif juga memungkinkan tim psikolegal membuat laporan yang dapat dikenali oleh kerabat.
Pendekatan berbasis komunitas dapat memudahkan interaksi individu, keluarga, konteks, budaya, dan faktor penentu sosial lainnya dalam kesejahteraan komunitas. Mereka mengakui partisipasi, pengetahuan, identitas, dan rasa memiliki masyarakat, sehingga menumbuhkan ikatan sosial yang berkontribusi pada membangun rasa kontrol, dan meningkatkan kepemimpinan lokal untuk transformasi sosial. Merangkul dan mempromosikan peran korban dalam proses merupakan tindakan yang memberdayakan dan memiliki tujuan penyembuhan — mengakui dalam diri sendiri kapasitas untuk mengambil peran aktif yang dapat mengarah pada menemukan sumber daya baru untuk mengatasi kesulitan. Mencari keadilan secara individu di Peru dapat membuat frustasi dan dapat menumbuhkan rasa impunitas. Pada saat yang sama, berbagi pengalaman proses mencari keadilan memungkinkan pengakuan sejarah bersama dan upaya bersama untuk menandakan kembali dan membangun kembali ikatan sosial. Pekerjaan forensik menunjukkan bahwa kerusakan perlu dibingkai dalam lingkungan keluarga dan relasional dan bahwa mempertahankan ikatan keluarga, sekecil apapun, merupakan faktor pelindung yang penting. Adanya ikatan kekeluargaan dan kolektif yang mendorong pencarian keadilan bisa menjadi jalur studi masa depan di lapangan, dengan menggabungkan unsur-unsur penelitian aksi partisipatif ini menjadikan dokumentasi forensik sebagai proses reparasi dalam dirinya sendiri. Dimensi psikolegal ini adalah kuncinya dan harus menjadi bagian dari proses hukum dalam konteks pelanggaran HAM.