Penerapan Reformasi Birokrasi di Negera Berkembang dan Maju

Hnews.idfoto/2021

Hnews.id | Kata reformasi sering menjadi perbincangan terutama di ranah politik. Politik dan reformasi adalah hal yang sering dikait-kaitkan. Namun sesungguhnya reformasi adalah istilah yang dapat digunakan secara luas, yang dapat mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Secara fundamental, reformasi ini merupakan langkah yang diambil untuk selalu memperbarui dan memperbaiki kehidupan masyarakat agar kualitas hidup juga meningkat (Sinaga, 2008). Penulis melihat adanya alasan untuk reformasi selalu dikaitkan dengan politik adalah karena peningkatan kualitas hidup masyarakat biasanya dimulai dari pemerintah. Pemerintah, terutama di negara demokrasi, adalah lembaga yang dipilih dan dipercaya oleh rakyat untuk menjalankan fungsi negara. Pada praktiknya, pemerintahan sering kali dianggap tidak dapat memberikan pelayanan untuk publik, yang sesuai dengan harapan publik, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Kurangnya kemampuan pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik untuk kesejahteraan ini sering terjadi di negara-negara berkembang.

Negara berkembang sering kesulitan dalam memberikan pelayanan publik yang memadai karena keterbatasannya dalam sumber daya dan kapital. Sumber daya ini termasuk di dalamnya sumber daya manusia, sumber daya material dan material. Sumber daya material merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan bernegara. Dengan adanya sumber daya material, kebutuhan negara untuk menyediakan pelayanan publik yang baik dapat dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan sumber daya material ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan. Pengadaan barang penunjang pelayanan publik ini dapat dilakukan dengan mudah apabila pemerintah memiliki sumber daya material dan kapital yang memadai. Namun dalam hal pengadaan dan pengelolaan sumber daya material dan kapital ini masih sering dijumpai permasalahan.

Permasalahan yang sering terjadi dalam pengelolaan sumber daya material dan kapital ini adalah adanya korupsi. Korupsi memiliki imbas yang luas dalam konteks bernegara. Dalam pemerintahan sendiri, korupsi dapat menghambat pelayanan publik. Pelayanan publik dilakukan oleh pegawai pemerintahan ataupun swasta. Dalam sektor swasta, perusahaan kadang memerlukan investor asing maupun dalam negeri. Investor akan mempertimbangkan kembali untuk masuk ke suatu negara terutama yang memiliki citra buruk karena adanya korupsi. Selain itu, adanya pembayaran ilegal oleh perusahaan, terutama asing, hingga ongkos manajemen dalam bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan karena adanya korupsi ini meningkatkan ongkos niaga, yang akhirnya akan berimbas pada pertumbuhan ekonomi (KPK, 2020).

Perusahaan swasta lebih mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan karena kehidupan perusahaan bergantung pada keuntungan yang dapat dihasilkan. Adanya korupsi menyebabkan biaya yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan dan investor semakin besar, sehingga kemungkinan mendapatkan keuntungan besar semakin kecil. Tidak adanya investasi yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi, mengakibatkan hutang negara semakin meningkat. Untuk menjalankan fungsi negara, tentu pemerintah membutuhkan kapital. Kapital ini dapat didapatkan secara legal melalui pajak, yang mana apabila terjadi kecurangan oleh oknum pegawai dan pejabat pajak, yang ingin memperkaya dan menguntungkan diri sendiri (KPK, 2020). Kegiatan ini selain merugikan negara, pelayanan publik juga terimbas. Pelayanan publik dan jasa menjadi semakin mahal. Seperti yang penulis sempat singgung, praktik korupsi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dari sektor perusahaan. Pengusaha perlu mengeluarkan biaya lebih dalam produksinya, yang karena hal ini perusahaan akan meningkatkan harga barang untuk menutup kerugian (KPK, 2020).

Administrasi yang sudah tercemar oleh adanya korupsi ini banyak terjadi di negara berkembang atau negara dunia ketiga. Indonesia sendiri adalah contoh dari negara berkembang, yang administrasi publiknya masih memerlukan perbaikan. Sistem pemerintahan di Indonesia ini masih mengikuti apa yang sudah ada sejak masa penjajahan. Pemerintahan Indonesia dalam memberikan pelayanan publik masih banyak dinilai lambat dan terlalu berbelit-belit. Panjangnya proses birokrasi ini di satu sisi merugikan untuk masyarakat. Namun di sisi lain, proses birokrasi yang panjang disebabkan oleh banyaknya pegawai negeri sipil. Tidak seperti pegawai swasta, kemungkinan bagi pegawai negeri sipil untuk dilakukan pemutusan hubungan kerja cukup kecil. Namun tetap dapat diberhentikan secara tidak terhormat dalam beberapa kondisi. Di masa pemerintahan kedua Joko Widodo, aturan pemberhentian kerja pegawai negeri sipil semakin diperketat. Pegawai negeri sipil akan diberhentikan berdasarkan beberapa pertimbangan, seperti penyelewengan terhadap undang-undang dan Pancasila, pegawai yang dijatuhi hukuman pidana, atau pegawai yang memiliki afiliasi politik (Kompas, 2020).

Penulis melihat syarat-syarat untuk memberhentikan pegawai negeri tersebut tergolong masuk akal dan tidak ada yang khusus dari syarat-syarat tersebut. Pelanggaran terhadap undang-undang maupun Pancasila merupakan hal yang bagi masyarakat sipil juga termasuk pelanggaran hukum sehingga perlu ditindaklanjuti secara hukum. Bebas dari catatan kriminal juga merupakan syarat pertama untuk mendaftar sebagai pegawai negeri sipil. Penulis melihat syarat pemberhentian karena adanya hukuman pidana tidak begitu khusus karena sejak awal menjadi pegawai negeri sipil sudah tidak boleh memiliki catatan hukum. Sebagai pegawai negeri sipil yang memberikan pelayanan untuk publik memang sudah seharusnya tidak berafiliasi terhadap satu kelompok politik tertentu.

Pemerintahan Joko Widodo di periode kedua ini memang menargetkan penguatan kualitas sumber daya manusia agar pembangunan infrastruktur semakin besar (Priyono, t.t.). Namun Priyono juga berpendapat bahwa hal yang sesungguhnya dapat meningkatkan pembangunan infrastuktur adalah penguatan institusi birokrasi sebagai penyelenggara negara. Penulis setuju dengan pendapat ini karena menurut penulis, sebuah negara apabila sistem birokrasinya sendiri belum sempurna, birokrasi tidak akan dapat dijalankan secara baik. Sistem birokrasi di Indonesia ini masih sangat kurang efektif dan efisien. Di era Revolusi Industri 4.0 ini, yang mana setiap kehidupan manusia sudah seharusnya terotomatisasi, masih banyak proses birokrasi yang berbelit-belit dan dilakukan secara manual. Namun penulis juga nilai kegagalan penerapan teknologi-teknologi hasil dari Revolusi Industri 4.0 dikarenakan masyarakat Indonesia sendiri belum semua memiliki pengetahuan dan akses untuk teknologi.

Kendala lain dari reformasi birokrasi di Indonesia adalah adanya budaya patronase yang sangat kuat (Priyatno, t.t.). Budaya ini menyebabkan kesejahteraan suatu negara tidak merata. Budaya ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga negara-negara asia pada umumnya banyak yang masih menganut sistem tersebut. Budaya ini menempatkan kelompok yang memiliki kekuasaan di tingkat sosial yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada umumnya. Hal ini tentu bertolak belakang dengan sistem New Public Management, yang mana seharusnya publik menjadi pihak yang mendapatkan pelayanan dari pemerintah. Terdapat ketidaksetaraan yang kentara dalam pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Masih banyak kelompok-kelompok yang mendapat privilage karena merupakan orang terdekat dari kelompok pemerintahan. Sedangkan banyak daerah yang masih kesulitan untuk mendapatkan infrastruktur yang layak dan masyarakat yang mendapatkan keadilan. Dalam pengadilan, masih banyak rakyat yang melakukan pelanggaran hukum dan mendapatkan hukuman, yang lebih berat daripada oknum di pemerintahan yang melakukan kejahatan yang merugikan negara.

Luasnya wilayah Indonesia menyebabkan administrasi masih tidak dapat terkontrol sehingga tidak efektif dan efisien (Thoha, 1987; Dwiyanto et al, 2002). Namun semenjak konsep daerah otonom diterapkan di Indonesia, sedikit banyak administrasi Indonesia sudah mulai membaik. Pemerintahan tersentral seperti pada masa Orde Baru, menurut penulis memiliki sisi baik dan buruknya masing-masing. Di satu sisi, pemerintahan tersentral lebih baik karena sistemnya yang satu pintu. Sisi negatif dari pemerintahan ini adalah sentralisasi menyebabkan daerah yang jauh dari pemerintah pusat sulit untuk menjangkau fasilitas pemerintahan. Selain itu, cross check dari masyarakat terhadap pemerintah juga sangat terbatas di era Orde baru sehingga banyak korupsi dan nepotisme yang terjadi di pemerintahan era ini.

Penulis ingin melihat secara lebih komprehensif berkaitan dengan sebuah pernyataan bahwa Pemerintahan Indonesia belum pernah melakukan pelayanan publik sesuai dengan konsep New Public Management. Penulis melihat konsep yang mengutamakan masyarakat penerima pelayanan ini, belum pernah diterapkan dan dikaji secara mendalam oleh pemerintah Indonesia. Selanjutnya melihat lebih detail penerapan konsep New Public Management di beberapa negara maju dan berkembang.

Keinginan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan ekonomi hingga 7% melalui perbaikan pelayanan publik (Priyatno, t.t.) ini menurut penulis masih akan sulit tercapai. Sumber daya manusia dan material yang dimiliki oleh Indonesia belum dikelola secara baik. Politik dalam administrasi publik di Indonesia harus dikurangi agar pelayanan publik dapat dijalankan lebih baik tanpa memandang kepentingan tertentu. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan pemerintahan Selandia Baru. Selandia Baru di awal masa penerapan New Public Managementnya (mulai tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an), dapat berjalan dengan baik karena kegiatan administrasi pemerintahnya menegakkan nilai-nilai non-partisan, bersifat profesional dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk publiknya (Muhdiarta, 2018).
Pelayanan publik di Selandia Baru semakin reponsif oleh masyarakatnya. Semenjak konsep New Public Management diterapkan di Selandia Baru, politik lebih sedikit diikutcampurkan dalam pelayanan publik dan lebih menerapakan konsep “Pengusaha Publik” (Pusat Kajian Reformasi Administrasi, 2014). Namun Muhdiarta (2018) mengungkapkan, terlepas dari penerapan konsep dan berkurangnya politik dalam administrasi publiknya, pelayanan publik di Selandia Baru masih lebih lambat dibandingkan tingginya tuntutan masyarakatnya. Namun kini pemerintah Selandia Baru sudah banyak memperbaiki model pemerintahannya menjadi lebih sesuai dengan konsep New Public Management oleh Denhardt dan Denhardt (2007).

Konsep ini membahas pemerintahan yang bersifat katalitik, yang mana pemerintah lebih menjadi kelompok yang mengarahkan dan mengemudikan untuk mengarahkan jalannya pelayanan publik. Pemerintah diharapkan untuk berorientasi kepada pasar (masyarakat). Hal ini berhubungan dengan pentingnya pemerintah untuk bersifat lebih kompetitif dengan menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam menyediakan pelayanan publik. Pemerintahan Selandia Baru sudah banyak menerapkan poin-poin tersebut dan banyak dinilai berhasil dan dijadikan percontohan oleh negara lain.

Selandia Baru merupakan salah satu negara yang paling progresif dalam penerapan New Public Management saat ini. Selandia Baru sudah menerapkan secara luas konsep kontrak sebagaimana sering diterapkan di kelompok swasta dalam menjalin kesepakatan antara dua belah pihak, yaitu antara badan-badan di pemerintahan, badan pemerintahan dan penyedia swasta, dalam suatu badan pemerintah itu sendiri, hingga pada tingkat tenaga kerjanya (Setiawan, t.t.). Namun menurut penulis New Public Management ini memang perlu diperhatikan hingga sisi sumber daya manusia. New Public Management dan reformasi administrasi ini dapat menjadi tidak seefektif negara-negara maju, seperti Selandia Baru apabila sumber daya manusia di negara tersebut belum memadai.

Indonesia sendiri masih sulit mencapai keberhasilan reformasi administrasi seperti Selandia Baru karena menurut penulis cara berpikir masyarakat Indonesia masih sulit untuk diajak maju. Orang-orang yang memiliki pemikiran maju di Indonesia juga belum mendapatkan tempat yang layak untuk mengembangkan ide-idenya. Politisasi dalam pemerintahan di Indonesia masih terlalu kuat untuk Indonesia dapat memperbaiki sistem pemerintahannya saat ini. Masyarakat yang tertinggal dan tidak memiliki akses pengetahuan juga masih banyak di Indonesia. Pembangunan di Indonesia belum dapat dikatakan merata sehingga masyarkatnya juga tidak semua mendapatkan kesejahteraan dasar, seperti pengetahuan. Seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya bahwa luasnya wilayah Indonesia juga menjadi kendala Indonesia dalam peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Kantor pelayanan publik di Indonesia sendiri belum semua mendapatkan sumber daya material yang memadai guna memberikan pelayanan publik. Kurang memadainya sumber daya material ini menyebabkan pegawai pelayanan publik juga tidak bersemangat dalam pemberian pelayanan publik.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, beberapa variasi dari New Public Management yang digunakan oleh pemerintahan negara-negara di dunia, terutama negara-negara maju, yang mana hal ini terinspirasi dari model reformasi administrasi sektor swasta yang dinilai lebih efisien, kompetitif, dan responsif, tidak terkecuali bagi Korea Selatan (Kim dan Han, 2015). Korea Selatan juga menjadi salah satu praktisioner sukses dari paradigma New Public Management. Ketika melalui proses demokratisasi yang diikuti dengan krisis ekonomi negara pada tahun 1990an, para ahli merasa skeptis terhadap model ekonomi state-led development yang tengah diterapkan. Berangkat dari permasalahan itu, beberapa kelompok masyarakat mendorong pemerintah untuk menciptakan sistem yang lebih demokratis lagi dengan menekankan pada kendali masyarakat serta akses terhadap proses pembuatan kebijakan yang lebih besar. Akhirnya, semenjak krisis ekonomi pada tahun 1998, pemerintah Korea Selatan melakukan reformasi sektor publik yang berpedoman pada New Public Management karena dirasa lebih efisien, kompetitif, dan juga transparan (Kim dan Han, 2015).

Pada dasarnya, secara teori dinyatakan bahwa New Public Management didukung oleh kerangka kerja pillihan publik dan kerangka kerja prinsipal-agen. Asumsi utama dari kerangka kerja atau teori pilihan publik adalah birokrasi merupakan alat yang bukan digunakan untuk kepentingan publik melainkan untuk memaksimalkan fungsi dari kekuasaan dan kedudukan yang dimiliki oleh satu atau beberapa orang (Niskanen dalam Kim dan Han, 2015). Oleh karena kesimpulan dari teori tersebut adalah birokrasi konvensional merupakan alat untuk melanggengkan monopoli, New Public Management di sini berfungsi untuk memberantas praktik korupsi dan monopoli kepada rakyat kecil guna membangun sebuah kondisi yang efisien dan kondusif dalam sektor public. Sedangkan, kerangka kerja prinsipal-agen disini melihat bahwa adanya keberanekaragaman peran yang dimiliki oleh aktor-aktor yang terlibat dalam pembuatan proses kebijakan publik. Kerangka kerja ini mengasumsikan bahwa pemerintahan pusat memiliki kecenderungan untuk memiliki kesulitan dalam memantau dan memastikan performa dari penyedia jasa publik di beberapa daerah. Maka dari itu, prinsipal atau yang disebut dengan pembuat kebijakan harus memiliki dan mengelola hubungan dengan agen atau yang disebut penyedia atau pelaku kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh prinsipal (Nickson dalam Kim dan Han, 2015).

Para pendukung New Public Management mengklaim bahwa solusi yang dapat memecahkan masalah tersebut terasosiasi dengan pembuatan kebijakan publik tradisional yang didasarkan pada pembuatan peraturan secara hirarki. New Public Management menegaskan bahwa kerangka kerja yang dimiliki dapat membuat struktur hirarki atau birokrasi dalam proses pembuatan kebijakan administrasi publik lebih fleksibel dan responsif. Hal lain yang ditekankan adalah kontrol terhadap output dari kebijakan yang dibuat sera performa dalam mencapai target yang telah dialokasikan. New Public Management berbeda dengan pengelolaan atau manajemen yang lain karena memang diyakini bahwa kekuatan dari birokrasi seharusnya dihilangkan (Kim dan Han, 2015).

Kampanye yang dicanangkan oleh New Public Management adalah debureaucratization akan tetapi hal tersebut juga menghadapi beberapa tantangan. Pertama, menurut Dunleavy (dalam Kim dan Han, 2015) justru dengan adanya birokrasi pemerintahan maka cost yang dikeluarkan tidak sebanyak jika membentuk public changing environment. Hal tersebut dikarenakan, dengan adanya kekuatan dan otoritas yang dimiliki maka kebijakan yang dijalankan akan jauh lebih efektif daripada publik yang harus berdiskusi dan membuat suatu kebijakan. Meskipun pada akhirnya memang ada kemungkinan bagi para birokrat untuk menggunakannya sebagai kepentingan pribadi. Akan tetapi, secara prakteknya, para birokrat mampu untuk menyerahkan kebijakan tersebut kepada subordinate agencies dan di sisi lain, birokrat juga menguatkan dan meluaskan kebijakan tersebut berdasarkan isu-isu yang relevan (Kim dan Han, 2015). Kedua, menurut Hall dan Taylor (dalam Kim dan Han, 2015) konsep path dependency itu juga memperkuat bagaimana birokrasi secara historis dapat memelihara dan mempertahankan kepentingan bukan hanya pribadi melainkan secara organisasional.

Akan tetapi, penulis melihat bahwa New Public Management bukanlah sebuah konsep yang dapat digeneralisasikan dan harus ditetapkan ke semua negara di dunia. Terbukti bahwa New Public Management ini berhasil diterapkan dalam administrasi Korea sejak 1990. Sejak saat itu, Korea memiliki pembuatan kebijakan yang lebih efektif dan dapat merespon dengan cepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk menangani krisis ekonomi di tahun 1997-1998, Kim Dae Jung melakukan reformasi atau restrukturasi program secara komprehensif, terkhususnya dalam sektor publik. Perubahan ini dilakukan karena adanya ketidakpuasan dari masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan. Masyarakat menyalahkan pemerintah karena ketidakefisiensian, over-centralization, dan lemahnya transparansi (Kim dan Han, 2015).

Oleh karena itu, dilakukan evaluasi terhadap proses pembuatan kebijakan publik. Pada era tersebut, pekerja publik merupakan aktor utama dalam pembuatan kebijakan. Kemudian, Kim Dae Jung dan Roh Moo Hyun melakukan reformasi sistem yang mana ha tersebut mendukung New Public Management. Reformasi yang dilakukan ini guna mengganti birokrasi yang didasarkan pada hirarki ke competition-driven organization. Dalam pemerintahan Kim Dae Jung, New Public Management berhasil dilakukan karena diijinkannya perusahaan luar negeri dan para ahli domestik untuk ikut terlibat dalam suatu proses pembuatan kebijakan publik. Maka dari itu, menurut Kim dan Han (2015) New Public Management merupakan instrument yang kuat untuk menyelesaikan masalah administratif di Korea. Akan tetapi, Kim dan Han (2015) berpendapat bahwa untuk menyelesaikan suatu permasalahan kebijakan publik di suatu negara harus dilihat dulu kondisi dan masalah yang dihadapi sebenarnya seperti apa. Kemudian, Kim dan Han (2015) juga tidak menyangkal bahwa New Public Management bukanlah suatu hal yang objektif. Hal terpenting yang harus dilakukan juga menurut Kim dan Han (2015) adalah bagaimana membangun hubungan yang baik dan sehat antara pemerintah dan masyarakat sehingga diciptakannya kebijakan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di negara tersebut.

Dari penjelasan dan pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa New Public Management adalah sebuah konsep yang dirancang untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pelayanan publik menjadi penting untuk ditingkatkan karena tuntutan masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan semakin tinggi. Nilai-nilai yang ada dalam New Public Management, seperti pemerintah merupakan kelompok yang bertindak sebagai pemikir dan pengemudi dalam pelayanan publik. Pemerintah hanya memberikan ide-ide untuk pelaksanaan pelayanan publik oleh pegawai, yang mana pegawai ini lebih diutamakan berasal dari masyarakat umum atau sektor swasta.

Pemerintah diharapkan dapat memberikan pelayanan publik yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan rakyat. Pelayanan publik diharapkan dapat dipenuhi secara cepat dan responsif oleh masyarakat. Masyarakat dianggap sebagai pemegang saham dalam pemerintahan di New Public Management. Pelayanan publik diharapkan dapat bekerja secara inovatif dan kreatif, seperti yang ada dalam sektor swasta. Adanya tuntutan untuk menjadi inovatif dan kreatif menyebabkan pelayanan publik ini harus dijalankan seperti dan oleh kelompok swasta, tanpa mengurangi peran pemerintah dalam menentukan arah pemerintahan.

Terlepas dari nilai-nilai yang ada dalam konsep New Public Management, konsep ini tentu tidak lepas dari kekurangan. Menurut penulis, konsep ini harus didukung oleh sumber daya manusia dan material yang memadai untuk dapat diterapkan secara baik dan dapat menghasilkan hasil yang memuaskan dan mensejahterakan untuk masyarakat.

Namun hal itu tentu akan sulit dicapai oleh negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang banyak yang memiliki pemerintahan yang sedari awal belum stabil sehingga pemerintahan di dalamnya masih belum dapat dijalankan secara baik. Pemerintahan yang tidak stabil ini biasanya dapat dengan mudah mengalami hal-hal yang sifatnya merugikan negara, seperti adanya korupsi. Kasus korupsi di negara-negara berkembang lebih tinggi dibandingkan di negara-negara maju. Indonesia sendiri yang sistem pemerintahannya merupakan perpanjangan dari sistem yang ada sejak masa kolonial menyebabkan organisasi dan birokrasinya tidak terorganisir dengan baik. Sistem pemerintahan di Indonesia juga tidak memiliki inovasi dan kreativitas yang menunjang untuk memperbaiki pelayanan publik. Selain itu, model pemerintahan Indonesia yang meneruskan model pemerintahan sejak masa kolonial dan hanya mengisi kekosongan posisi dari petugas yang ada sebelumnya, menyebabkan kasus-kasus seperti korupsi dan nepotisme tinggi.

Korupsi sendiri membawa dampak yang kompleks dalam kehidupan bernegara. Dampak yang dapat dirasakan secara luas adalah terhadap kesejahteraan rakyat. Kegiatan yang memperkaya diri sendiri oleh pemegang kekuasaan ini sering kali menghambat kinerja pegawai pelayanan publik karena pengadaan material penunjang pelayanan publik menjadi terganggu. Selain itu, dana yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur untuk meratakan kesejahteraan rakyat menjadi tidak ada dan kesejahteraan rakyat tidak dapat tercapai.

Di Indonesia sendiri, kasus korupsi masih banyak terjadi dan juga berdampak terhadap pelayanan publik. Keinginan presiden Joko Widodo di periode kedua kepemimpinannya adalah untuk meningkatkan ekonomi sebanyak 7%. Hal tersebut akan sulit tercapai karena korupsi dan rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Korupsi menyebabkan investasi sulit diadakan di suatu negara yang tinggi akan kasus tersebut. Hal tersebut akan berdampak pada perekonomian yang kemudian juga akan berdampak pada pelayanan publik.

Negara maju seperti Selandia Baru juga sempat menghadapi tantangan dalam penerapan New Public Management. Dalam kasus Selandia Baru, New Public Management sudah diterapkan sesuai dengan nilai-nilai dalam konsep tersebut. Selain itu, di Selandia Baru pelayanan publik juga sudah tidak bersifat partisan, tidak boleh terikat dan tersisipi politik, serta lebih profesional. Namun dalam praktiknya, Selandia Baru sempat lambat dalam memenuhi tuntutan dari masyarakatnya dalam memberikan pelayanan publik. Terlepas dari tantangan yang dihadapi, Selandia Baru merupakan negara yang dapat dinilai progresif dalam penerapan konsep New Public Management ini.

Penulis juga melihat dukungan dari masyarakat dan sumber daya manusia di Selandia Baru sudah memadai untuk menerapakan konsep ini. Di negara maju, konsep New Public Management penulis rasa lebih mudah untuk diterapkan karena sumber dayanya memadai. Contoh lain dari negara maju yang berhasil dalam penerapan konsep New Public Management adalah Korea Selatan.

Perkembangan pelayanan publik di Korea Selatan ini perlu ditarik jauh pada masa awal demokratisasi dan pasca krisis ekonomi, yang memunculkan sikap skeptis para ahli terhadap model perekonomian yang dipimpin oleh negara. Hal tersebut kemudian mendorong beberapa kelompok masyarakat untuk menuntut pemerintah agar menciptakan sistem yang lebih demokratis lagi dengan menekankan pada kendali masyarakat serta akses terhadap proses pembuatan kebijakan yang lebih besar. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan transparansi dan pelayanan publik yang lebih efisien.

Penulis melihat alasan ini sesuai dengan tujuan New Public Management, yang mana apabila pelayanan publik ini dipegang oleh masyarakat, pelayanan yang diberikan lebih dapat disesuaikan lagi dengan kebutuhan masyarakat dan transparansi lebih mudah didapatkan.

Related posts