Hnews.id | Kasus pasien meninggal karena terlantar, dan di tahan karena tidak sanggup membayar bahkan tidak diobati karena tidak mempunyai uang untuk biaya Rumah Sakit, pernah kita dengar. Artinya perlindungan atas jaminan kesehatan bagi masyarakat sangat perlu, dalam menghindari kasus-kasus yang penulis sebutkan di atas. Kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan kesehatan sangat terbatas. Sehingga tanpa sistem yang handal untuk menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan, maka akan semakin banyak nyawa masyarakat yang semakin terancam karena ketidakmapuan untuk berobat. Di tambah lagi kebutuhan biaya pelayanan kesehatan yang semakin mahal, sehingga mempengaruhi daya beli kesehatan masyarakat. Jika seseorang jatuh sakit maka penghasilan akan habis untuk membiayai pengobatannya dan bahkan sampai jatuh miskin.
Pemerintah terus berupaya menyediakan jaminan kesehatan dan perlindungan sosial. Sisi lain pemerintah juga berusaha tanggap atas tekanan fiskal yang berkaitan dengan implementasi sistem kesejahteraan masyarakat. Alternatif tata kelola yang pemerintah bisa lakukan misalnya saja seperti; privatisasi layanan kesehatan, target pembayaran bersubsidi, bersyarat, serta manfaat yang dikaitkan dengan kontribusi peserta masyarakat.
Pada pasal 28H (1) UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kemudian UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, juga menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap individu. Oleh karena itu negara bertanggung jawab untuk mengatur agar hak hidup yang sehat bagi penduduknya terpenuhi.
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi diatas, pemerintah berinisiatif sudah membentuk suatu sistem jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan jaminan kesehatan tersebut dengan sistem gotong royong sehingga kemampaun membayar yang terbatas bagi kelompok miskin akan bisa dibantu oleh kelompok masyarakat yang lebih mampu, sehingga status kesehatan diharapkan akan meningkat (WHO, 2017).
Di era reformasi tahun 2000, pemerintah merencanakan pembuatan sistem jaminan kesehatan nasional yang terintegrasi. Bappenas ditugasi untuk menyusun tim yang mempersiapkan rencana ini. Sebagai usaha pemulaan, pada tahun 2003, tim berhasil menyusun UU No 40 tentang sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diawasi oleh dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Undang-undang ini merupakan kebijakan baru di bidang jaminan sosial di Indonesia yang bertujuan untuk menggantikan dan mengintegrasikan program-program jaminan sosial sebelumnya seperti Askes, Asabri, dan Jamsostek.
BPJS Kesehatan bertugas untuk melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang implementasinya dimulai pada tanggal 1 januari 2014. Secara operasional pelaksanaan JKN dituangkan dalam berbagai Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain PP Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI), Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dan Peta jalan JKN, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
JKN ini ditunjukan untuk penduduk yang kurang mampu, sehingga seluruh penduduk akan menjadi peserta JKN. Pada prinsipnya kepesertaan JKN mengunakan prinsip compulsory insurance sehingga bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia. Dalam hal premi JKN menerapkan mekanisme asuransi sukarela (Voluntary insurance) yang dibayar oleh peserta atau bersama pemberi kerja sesuai dengan tingkat risikonya dan keinginan jenis-jenis coverage nya. Asuransi kesehatan ini diharapkan akan mengurangi risiko masyarakat dalam menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri, yang seringkali jumlahnya sangat besar dan tidak bisa diprediksi.
Dalam konteks pembiayaan perawatan kesehatan, asuransi jaminan kesehatan merupakan komponen yang sangat vital untuk menjamin layanan kesehatan bagi masyarakat. Premi yang yang harus dibayar peserta besarannya pun tetap. Hal ini di mungkinkan karena pembiayaan kesehatan ditanggung bersama seluruh peserta, sehingga tidak memberatkan rakyat secara individu.
Indikator keberhasilan terselenggaranya JKN adalah berupa jumlah penduduk yang telah menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui Jaminan Kesehatan Nasioanal. Target itu di perlihatkan dengan kenaikan peserta pada tiap tahunnya, supaya pada akhirnya JKN bisa mengcover seluruh masyarakat dalam hal jaminan kesehatan. Pemerintah harus fokus sebagai regulator dan fasilitator dalam penyelenggaraan JKN, oleh sebab itu teknis operasional pelaksanaan JKN menjadi kewenangan BPJS, agar mengelola penyelenggaraan sistem JKN secara profesiaonal.
Harapan penulis pemerintah tetap bertanggung jawab dalam upaya pemutusan risiko. Pemerintah harus berupaya menyediakan lapangan pekerjaan bagi seluruh penduduk, supaya mereka lebih mandiri untuk membayar premi dan tidak tergantung pada subsidi negara.