Hnews.id | Pro dan Kontra Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi Kesehatan, dinilai hanya untungkan pemerhati Kesehatan dan merugikan petani tembakau. LaNyalla Mahmud Mattalitti Ketua DPD RI juga menyoroti polemik revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012. Dibalik Pro Kontra tersebut LaNyalla meminta agar nasib petani tembakau diperhatikan dalam revisi Peraturan Pemerintah ini. Ketua DPD RI menegaskan, jika direvisi maka PP 109 Tahun 2021 harus memberi solusi yang tepat supaya tidak merugikan para petani dan buruh tembakau. Dan harus diingat, sektor ini cukup banyak menyerap tenaga kerja. Kondisi ini tidak bisa diabaikan begitu saja, Oleh karna itu, di balik pro dan kontra, nasib petani tembakau sebaiknya tetap harus diprioritaskan.
Sementara itu para pihak pendorong revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2021 seperti Organisasi-Organisasi anti tembakau dinilai tidak memberikan solusi. “Mereka ini tidak punya solusi. Mereka melarang namun tidak memberikan solusi bagi buruh dan petani tembakau,” kata Trubus seorang Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Jakarta. Menurutnya dorongan larangan total iklan dan promosi rokok yang menjadi bagian revisi PP 109/2012 akan memukul semua lini Industri Hasil Tembakau (IHT), termasuk para petani. Padahal, jumlah petani tembakau di Indonesia sangat banyak.
Dalam hal ini pemerintah diminta bersikap adil dalam memperlakukan IHT. Jangan sampai karena tekanan dari kelompok tertentu, lalu pemerintah menaikan harga jual rokok dan cukai setinggi-tingginya, dan melupakan peran penting industri tersebut dalam menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian, sekaligus memberikan pemasukan pada negara. Menurut anggota DPR komisi XI Mukhamad Misbakhun, pemerintah berencana akan menyesuaikan kembali tarif cukai hasil tembakau pada tahun 2021. Penyesuaian target tersebut seiring dengan penerimaan cukai pada tahun depan sebesar Rp. 178,48 Triliun. Menanggapi hal tersebut, anggota DPR komisi XI Mukhamad Misbakhun, mengatakan bahwa IHT adalah salah satu industri strategis nasional yang mempunyai peran besar dalam perekonomian Indonesia. Ditengah panndemi covid-19 inipun pastinya IHT berdampak secara ekonomi, namun meskipun demikian pemerintah masih menggantungkan IHT sebagai industri penopang penerimaan negara sampai tahun ini.
Kuatnya desakan para organisasi anti tembakau dan internasional untuk permasalahan produk IHT, yang menimbulkan dampak bagi Kesehatan. Mereka bahkan mendesak pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Framework Convention On Tobbacco Control (FCTC). Dikarenakan, prevalensi merokok masyarakat yang masih tinggi. Karena itu diperlukannya arahan yang jelas dari pemerintah untuk IHT agar dapat meminimalisir kegaduhan polemik dengan perumusan strategi pengembangan IHT yang tepat.
Agus Parmuji Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), mendesak perlunya penyusunan Road Map IHT yang menjadi Stakeholder bagi pelaku industri di dalamnya. Sementara Itu Edi Sutopo Direktur Industri Minuman, Industri Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, mengatakan, roadmap IHT sebenarnya sudah sangat banyak sejak tahun 2009 dan 2015. Roadmap tahun 2015 sudah mempertimabangkan masalah seperti pasokan tembakau indutri, tenaga kerja, penerimaan negara, petani dan permasalahan dibidang Kesehatan. Namun pada tahun 2015 berdasarkan keputusan Mahkamah Agung No.16 roadmap tersebut dicabut, karna dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan. Menurut hemat penulis dalam penyusunan roadmap IHT dimasa akan datang, harus tetap ada keseimbangan, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, baik dari bidang ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan aspek kesehatannya. Selain itu juga harus mempertimbangkan karakteristik IHT untuk penyerapan tenaga kerja yang tinggi, hulu hilir sektor pertanian dan cengkeh, dan juga kretek sebagai produk khas Indonesia. Penyusunan roadmap IHT dengan melibatkan lintas kementrian, dengan harapan penyusunan roadmap benar-benar komprehensif dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, tenaga kerja, pendapatan negara dan tentunya aspek kesehatan.