Hnews.id | Kasus aborsi di Indonesia setiap tahunnya, menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), perkiraan bisa mencapai sekitar 2.000.000 juta nyawa sampai 2.300.00 jiwa nyawa. Tercatat angka aborsi 30 persen dari rata-rata nasional Angka Kematian Ibu (AKI) yang mencapai 228 per 100 ribu kelahiran hidup, diantaranya dilakukan oleh para remaja (SDKI, 2008). Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) pada remaja setiap tahunnya telah menunjukkan angka sebesar 150.000 hingga 200.000 kasus. Survei yang pernah dilakukan pada sembilan kota besar yang ada di Indonesia, menunjukkan bahwa Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) telah mencapai 37.000 kasus, diataranya 27 persen terjadi dalam lingkungan pranikah sedangkan 12,5 persen terjadi pada remaja pelajar. Dari data beberapa penelitian, kematian akibat aborsi ternyata lebih banyak terjadi pada perempuan yang tinggal di daerah perkotaan sekitar 78 persen. Tindakan aborsi jika tidak dicegah baik bagi perempuan yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan akan lebih mematikan dari pada penyakit yang mematikan seperti kanker.
Secara hukum, tindakan aborsi merupakan tindakan yang terlarang, namun banyak sekali perempuan-perempuan yang masih melakukan tindakan Aborsi. Mereka melakukan tindakan tersebut salah satunya karena kehamilan yang tidak diinginkan, dan pada akhirnya melakukan aborsi. Banyak perempuan yang melakukan aborsi melalui medis dan bahkan juga ada yang non medik. Namun tindakan non medik yang tidak ditangani oleh para medis atau orang-orang yang berpengalaman dalam bidangnya, maka menimbulkan risiko yang tinggi seperti; mengalami kesakitan, trauma bahkan risiko meninggal.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk melindungi wanita, terutama yang hamil akibat pemerkosaan (khususnya perempuan dibawah umur dan juga akibat dari pergaulan bebas) dan dalam kondisi darurat medis. Perempuan yang melakukan tindakan aborsi atau menggugurkan kandungannya dengan berbagai alasan diantaranya; Pertama, pertimbangan karena pada proses kehamilan kesehatan janin memiliki kelainan cacat fisik, sehingga dapat mengancam dan membahayakan kesehatan ibu. Kedua, dengan alasan ketidaksiapan ekonomi, dan Ketiga, dengan alasan sosial. Perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) berusaha menggugurkan kehamilannya, baik melalui perantara medis maupun non medis. Terjadinya kehamilan akibat pergaulan bebas, hamil akibat permerkosaan, atau bahkan perselingkuhan sehingga terjadilah tindakan aborsi.
Pemerintah berhak dan wajib melindungi serta mencegah perempuan dari kasus aborsi sesuai dengan pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penulis menyarankan agar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan instansi terkait, untuk terus melakukan sosialisasi kehamilan yang sehat, tindakan aborsi legal dan sehat pada para remaja dan keluarga Indonesia. Dan penting bagi remaja perempuan sex education yang mencakup kesehatan reproduksi secara keseluruhan.