Upaya Mengurangi Perokok

Hnews.id | Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko penyebab berbagai macam penyakit, terutama penyakit tidak menular seperti jantung, hipertensi, kanker dan PPOK juga penyakit menular seperti TBC, yang mana memerlukan biaya pengobatan yang besar. Saat ini di Indonesia, rokok masih menjadi permasalahan yang berdampak pada kesehatan dan perekonomian negara. Kebiasaan merokok di usia muda mengalami peningkatan yang luar biasa. Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018 menunjukkan prevalensi perokok usia 15 tahun telah mencapai 33,8%. Menurut dr Widyastuti Soerojo, MSC, Ketua badan khusus pengendalian tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI), bahwa dalam 1 dekade terakhir, dimana perokok pemula usia 10-14 tahun (siswa SD, SMP) yang pada tahun 2007 hanya 9,6%, di tahun 2018 sudah mencapai 23,1%. Hal tersebut tentunya akan mengancam generasi penerus bangsa, karena banyak anak yang akan terganggu pertumbuhannya. Oleh karena itu perlu upaya penanganan yang serius guna mengatasi permasalahan ini agak tidak berdampak dan merugikan banyak aspek.

Nah…sekarang apa upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini? Apakah kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan selama ini berjalan optimal?

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, telah membuat Program Pengendalian Tembakau dan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok sebagai strategi pengendalian penyakit tidak menular di Indonesia. Dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.13/2009 tentang Jalur Pengendalian Tembakau untuk memandu kegiatan pengendalian tembakau, yang diharapkan dapat mengurangi prevalensi merokok sebesar 10% pada tahun 2024. Saat ini program pengendalian tembakau yang telah berjalan di Indonesia, meliputi perlindungan masyarakat dari asap rokok dengan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di 7 (tujuh)  tempat seperti sekolah, sarana bermain anak, fasilitas pelayan kesehatan, rumah ibadah, transportasi umum, tempat kerja, ruang publik dan tempat-tempat lainnya. Pencantuman gambar peringatan bahaya merokok pada kemasan rokok (Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/2013), iklan layanan masyarakat, dan EIC lainnya termasuk media sosial, pembatasan tayangan iklan rokok, larangan menjual rokok kepada wanita hamil dan anak usia dibawah 18 tahun, serta program “offer help to quit tobacco” yang disampaikan Puskesmas yang telah bekerja sama dengan WHO.

Namun, apakah program dan kebijakan yang telah ada ini, sudah efektif dalam mengurangi jumlah perokok di Indonesia khususnya perokok pemula?

Berdasarkan data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang dirilis pada tahun 2019, menunjukkan bahwa sekitar 40,6% pelajar Indonesia usia 13-15 tahun telah menggunakan produk tembakau. Selain itu dikatakan bahwa 19,2% pelajar saat ini merupakan perokok, yang mana 60,6% bahkan tidak dicegah ketika membeli rokok karena usia mereka, dan 2/3 dari jumlah perokok tersebut dapat membeli rokok secara eceran, yang berarti memudahkan dan memberi akses anak dibawah umur untuk merokok. Data dari GYTS juga menyebutkan bahwa 7 dari 10 pelajar melihat iklan dan promosi rokok di televisi juga tempat penjualan dalam 30 hari terakhir.

Dari data tersebut kita dapat menyimpulkan, bahwa kebijakan yang telah ada selama ini masih belum berjalan dengan baik, dan kurang berdampak bagi masyarakat, selain itu sanksi yang diberikan bagi pelanggar juga masih belum tegas, sehingga masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi saat ini. Tentunya pemerintah tidak henti-hentinya berupaya dalam menangani masalah rokok ini.

Apa yang perlu dilakukan sebagai perbaikan dari program dan kebijakan yang telah ada tersebut?

Terdapat beberapa rekomendasi yang ditawarkan khususnya oleh Tobacco Control Support Center (TCSC) IAKMI kepada pemerintah, diantaranya; memperbesar gambar peringatan dampak merokok pada kemasan rokok, yang diharapkan dapat mengurangi daya tarik perokok. Karena berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh TCSC IAKMI pada tahun 2017 di 16 kota, menunjukkan sebanyak 79,2% penilaian masyarakat terhadap kemasan rokok dengan peringatan kesehatan bergambar 90% sangat efektif dalam menginformasikan bahaya rokok kepada masyarakat. Selain itu, penempatan pita cukai pada kemasan juga perlu diperhatikan, jangan sampai menutupi peringatan bergambar agar terbaca dan terlihat jelas. Mengenai aturan larangan penjualan rokok bagi anak dibawah 18 tahun juga perlu dipertegas, dengan mencantumkan larangan di sisi samping kemasan serta menyebutkan sanksi yang akan diperoleh bagi pelanggar. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan dan pengingat bagi penjual agar tidak melakukan pelanggaran dan sehingga penurunan prevalensi perokok khususnya perokok pemula dapat tercapai.

Menurut penulis, pemerintah juga sebaiknya menetapkan standar pengemasan rokok minimal dan pelarangan penjualan rokok eceran, karena hal tersebut dapat mempermudah usia muda dalam membeli rokok dengan uang saku mereka. Pemasangan iklan di jalan-jalan seperti baliho dan spanduk-spanduk tentang rokok, juga menjadikan usia muda terekspos mengenai rokok. Pembatasan tayangan iklan rokok ditelevisi akan percuma jika masih banyaknya baliho di jalan-jalan yang memasarkan produk rokok.

Penulis berpendapat bahwa dalam upaya penurunan prevalensi perokok di Indonesia, tidak dapat hanya dijalankan oleh Pemerintah saja, tetapi juga keterlibatan berbagai pihak. Oleh karena itu, sangat diperlukan peningkatan kemitraan dari pemerintah dengan perguruan tinggi, lembaga pendidikan, masyarakat sipil, dan berbagai organisasi profesi dalam rangka penerapan dan pengawasan secara periodik mengenai kebijakan dan program pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Demi tercapainya derajat kesehatan dan kestabilan perekonomian di Indonesia, masyarakat perlu disiplin terhadap peraturan, program dan kebijakan yang telah ada. Kerja sama dengan mengikutsertakan masyarakat, akan membawa perkembangan dan kemajuan bagi bangsa kita, khususnya memperbaiki generasi penerus bangsa, sebagai sumber daya manusia yang unggul dan dapat bersaing dengan masyarakat dunia.

Related posts