Menelisik Gaya Kepemimpinan Perempuan di Masa Pandemi Covid-19

Hnews.id | Di masa sekarang ini seorang pemimpin akan menjadi ‘aktor’ penting, tentu banyak harapan yang ada dipundaknya. Perubahan situasi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 ini, memaksa para pemimpin keluar dari zona nyamannya untuk menghadapi situasi yang berbeda atau bahkan belum pernah mereka hadapi sebelumnya. Disinilah kemampuan pemimpin diuji. Kita bisa melihat kepemimpinan yang buruk, akan berakibat fatal dalam situasi pandemi Covid-19. Kegagalan dalam mengatasi pandemi Covid-19, akan menimbulkan lonjakan kasus Covid-19.

Meskipun begitu, ada beberapa negara yang dianggap berhasil menangani wabah Covid-19 karena memiliki tingkat kasus Covid-19 terendah seperti Hong kong, Taiwan, Selandia Baru, Jerman, Norwegia, Finlandia dan Islandia. Entah kebetulan atau bukan, pemimpin di negara-negara tersebut memiliki perdana menteri dan presiden perempuan. Ada yang beranggapan keberhasilan beberapa negara tersebut karena luas wilayah dan jumlah penduduknya tidak begitu besar, akan tetapi kebijakan yang diambil oleh pemimpin di negara-negara tersebut memang patut diberi apresiasi karena dapat membuat kebijakan yang baik demi menghadapi krisis global yang terjadi saat ini.

Salah satu nama yang mengemuka adalah kebijakan Jacinda Ardern sebagai Perdana Menteri Selandia Baru, ketika belum ada kasus positif di Selandia Baru pemerintah memberlakukan lockdown dan melarang warga asing masuk ke negara mereka, dan meminta warga Selandia Baru yang tiba dari China untuk wajib melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Setelah beberapa hari, Jacinda Ardern menutup total Selandia Baru dan kebijakan ini berlaku untuk semua warga negara asing. Adapun keberhasilan beberapa negara lain dalam menangani pandemi seperti Finlandia dan Islandia yang juga memiliki pemimpin perempuan, menunjukjan para pemimpin perempuan ini dapat mengambil keputusan tepat, guna menahan laju penyebaran virus Covid-19.

Walaupun ini bukan perlombaan jenis kelamin tentang siapa yang lebih superior, akan tetapi apakah yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam hal memimpin? Dikutip dari penelitian Alice, et al mengenai Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional, dimana ini adalah dua aspek yang dilihat dari gaya kepemimpinan seseorang, perempuan cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, yang lebih menunjukkan perhatian, kasih sayang, kepedulian, rasa hormat serta kesetaraan. Sementara laki-laki memiliki pendekatan yang lebih transaksional, yang mencakup gaya manajemen yang lebih fokus, berorientasi pada pencapaian dan arahan. Sehingga kesimpulannya adalah perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki peluang menjadi pemimpin yang efektif.

Akan tetapi, hal-hal mengenai keberhasilan negara-negara yang dipimpin perempuan dalam penanganan pandemi bukan semata-mata karena subjek pemimpinnya perempuan, tetapi lebih kepada cerminan dari kondisi masyarakat negara tersebut yang sudah memberi peluang yang sama bagi perempuan maupun laki-laki untuk berkontribusi sehingga ada peran yang seimbang dari kedua jenis kelamin sehingga membuat negara tersebut dapat menghasilkan kebijakan yang lebih tepat sasaran.

Penulis menyimpulkan, ada beberapa hal yang dapat dipelajari atau dilestarikan dari gaya kepemimpinan perempuan yakni, terdapat nilai-nilai yang dianut oleh para pemimpin perempuan secara umum seperti empatik, peduli, kolaboratif dan nilai-nilai lainnya yang berorientasi keluar. Dengan pemimpin yang menganut nilai-nilai tersebut, menurut penulis tidak masalah jenis kelaminnya apa, semua bisa berada di tangan yang tepat dalam penanganan pandemi hari ini, maupun berbagai krisis yang akan datang.

Related posts