Hnews.id | Penjualan antibiotik tanpa resep dokter menjadi masalah global saat ini. Fenomena ini banyak terjadi di berbagai negara, baik di negara Eropa seperti; Spanyol dan Yunani, maupun di negara Asia seperti; Vietnam dan Indonesia. Walaupun demikian, faktor yang dominan menyebabkan perilaku penjualan dan pembelian antibiotik tanpa resep di apotek belum diketahui secara pasti. Perilaku masyarakat terkait penggunaan antibiotik tanpa menggunakan resep dokter, yang paling sering dibeli atau digunakan dalam pelayanan tanpa resep dokter adalah Amoxicillin. Jenis penyakit yang mayoritas diobati pasien dengan antibiotik adalah gejala flu. Alasan dalam menggunakan antibiotik tanpa resep dokter adalah, karena penggunaan antibiotik terdahulu memberikan hasil yang baik dan masyarakat tidak pikirkan dampak kedepannya (Anna and Fernandez, 2013).
Antibiotik adalah obat yang berasal dari seluruh atau bagian dari mikroorganisme, dan digunakan untuk mengobati seseorang yang terkena infeksi bakteri. Antibiotika tidak efektif untuk melawan virus. Selain membunuh mikroorganisme atau menghentikan reproduksi bakteri, antibiotik juga dapat membantu sistem pertahanan alami tubuh untuk mengeleminasi bakteri-bakteri. Pengunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan resistensi, yaitu kemampuan bakteri dalam menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik tersebut. Masalah pada resistensi dapat menimbulkan banyak dampak pada morbiditas dan mortalitas. Dan juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi hanya ada dikalangan tingkat Rumah Sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat, khususnya Streptococcus pneumoniae (SP), Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.2406/MENKES/PER/ XII/2011).
Pemakaian antibiotik yang kurang tepat mengakibatkan masyarakat menggunakan obat dengan indikasi yang tidak jelas, sehingga dapat memberikan kontribusi perkembangan resistensi antimikroba. Penyalahgunaan antibiotik termasuk dalam kegagalan dalam terapi, over dosis, atau penggunaan kembali antibiotik yang masih tersisa. Dan dapat berpotensi memajani pasien untuk mengoptimalkan dosis terapi antibiotik. Ada beberapa antibiotik yang tidak bisa untuk membunuh bakteri menular, sehingga berpotensi membuat lingkungan sekitar menjadi resisten dengan antibiotik tersebut.
Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan sangat mengkhawatirkannya peningkatan jumlah resistensi bakteri di seluruh wilayah di dunia. Oleh karena itu untuk menciptakan koordinasi secara global, WHO mengeluarkan Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance, yaitu dokumen yang ditujukan kepada para pembuat kebijakan, agar mendesak pemerintah di berbagai negara untuk melakukan tindakan dan berbagai usaha yang dapat mencegah terjadinya resistensi antibiotika. Di Indonesia pun juga telah dilakukan beberapa upaya untuk tujuan ini. Salah satu dari upaya tersebut adalah di berlakukannya Undang-Undang tentang penjualan antibiotika, yang diatur dalam undang-undang obat keras St. No.419 tgl. 22 Desember 1949, pada pasal 3 ayat 1. Selain itu juga diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan No.2406/ MENKES/ PER/ XII/ 2011 tentang pedoman umum penggunaan antibiotik (Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 1949 Permenkes, 2011)
Penulis berharap ke depannya penggunaan antibiotik dapat sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Masyarakat di edukasi dengan baik, agar kondisi sehat dapat tercapai sebagaimana mestinya.