Hnews.id | Data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018 menunjukan terjadi peningkatan jumlah perokok pada anak kisaran usia 10-18 tahun, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Tentu hal ini sangat jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2014-2019 yang menargetkan perokok pada anak akan turun menjadi 5,4% pada 2019. Data tersebut menjadi bukti bahwa upaya yang dilakukan selama ini, masih belum berhasil mencapai angka 5,4% pada tahun 2019. Tahun 2012, seperti yang kita ketahui, kita sudah punya Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, tapi belum terimplementasi dengan baik dalam melindungi dari adiksi (ketergantungan) merokok dan prevalensi (kebiasaan) perokok pada anak. Bisa jadi, karena iklan dan media promosi rokok gencar dilakukan, perilaku merokok yang dianggap biasa, serta harga rokok yang murah sehingga dapat dibeli dimana-mana. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey 2019, sebanyak 65,2% pelajar telah melihat adanya iklan rokok di tempat penjualan, 56,8% di televisi, dan 36,2 % di internet, serta 60,6% pelajar tidak mendapat cegahan/ tidak dicegah saat membeli rokok tersebut.
Survey yang dilakukan Yayasan Lentera Anak terkait akses penjualan rokok kepada anak-anak di 3 kota besar pada beberapa tahun yang lalu menunjukan, 90% toko tidak melarang anak-anak membeli rokok. Bahkan anak usia sekolah merokok. Berbagai bidang studi menunjukkan adanya iklan, promosi, dan sponsor rokok sejak usia dini, akan mengakibatkan meningkatnya tanggapan positif untuk mulai merokok. Studi Uhamka 2007 menunjukkan, 46,3% anak usia remaja mengakui dengan adanya iklan rokok dapat mempengaruhi mereka untuk memulai merokok. Studi Surgeon General memberi kesimpulan bahwa iklan rokok memotivasi lebih perokok dalam meningkatkan konsumsinya dan terdorongnya anak-anak untuk mencoba merokok juga beranggapan bahwa perilaku merokok merupakan suatu hal yang wajar (WHO 2009).
Selain itu beberapa faktor pemicu anak merokok yang lain, memiliki rasa Ingin mencoba rasa (menthol, dan berbagai jenis rasa rokok lainnya) yang dijanjikan oleh iklan rokok dan mudah didapat, ingin tampil keren/macho/cool, gaul, dianggap dewasa, membawa alasan setia kawan, berfikiran bahwa rokok dapat menghilangkan masalah/rasa stress yang muncul, dan menghilangkan rasa sepi, jenuh, dan galau. Dampak negatif yang ditimbulkan rokok bagi anak anak, diantaranya; menghambat perkembanga, paru paru, risiko memiliki penyakit jangka pendek/panjang, gigi dan tulang rusak, risiko kanker, dan tumbuh kembang anak menjadi terhambat.
Pemerintah telah berupaya dari sisi aturan, dimana Februari 2020, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.18/2020 tentang RPJMN 2020-2024. Dalam strategi dan kebijakan RPJMN 2020-2024, tersebut menargetkan pervalensi perokok anak turun menjadi 8,7% pada 2024 dengan pelarangan total adanya iklan dan promosi rokok. Selain itu pemerintah terus-menerus melakukan promosi kesehatan melalui pemberian informasi edukasi fakta (bersifat benar) dan pembentukan pendidikan sebaya, memotivasi agar masyarakat menciptakan rumah bebas rokok, adanya sarana kesehatan untuk berhenti merokok sebagai media konsultasi, dan banyak lagi yang lainnya.
Penulis menyarankan agar si anak terus-menerus di ingatkan bahwa merokok dapat menimbulkan berbagai macam jenis penyakit yang terjangkit pada tubuh, rokok sangat rentan bagi si anak dikarenakan tubuh yang belum siap dan belum bisa menerima zat berbahaya yang ada pada rokok, dengan begitu penyakit akan lebih mudah menyerang tubuh. Kemudian peran orangtua sangatlah berperan penting bagi anak, maka sebagai orangtua harus bisa memperhatikan dan bisa mengontrol anak semaksimal mungkin. Tanamkan nilai-nilai edukasi pada anak yang dapat membuat anak paham dan memiliki kesadaran terhadap dampak apa saja yang akan terjadi bila merokok.