Hnews.id | Kesehatan merupakan kebutuhan mendasar yang harus ada dan dipenuhi oleh setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Namun, seringkali kesehatan menjadi terabaikan, padahal kesehatan adalah dasar dari perkembangan potensi individu untuk mencapai aktualisasi dirinya. Dalam teori yang dikemukakan oleh H. L. Bloom terdapat 4 determinan yang mempengaruhi derajat kesehatan secara berturut-turut, yaitu : 1) Gaya hidup: 2) Lingkungan : 3) Pelayanan kesehatan : dan 4) Faktor genetik. Dari determinan yang dinyatakan oleh H. L. Bloom saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lainnya terhadap status kesehatan seseorang.
Bulan lalu baru saja kita memperingati hari kesehatan dunia pada tanggal 7 April, sudah sepantasnya kita menjadikan momen tersebut untuk berefleksi tentang upaya mewujudkan akses kesehatan bagi semua masyarakat Indonesia. Peringatan hari kesehatan dunia tahun ini mengusung tema kesehatan untuk semua di mana saja, tema ini ditujukan untuk mendorong pencapaian Cakupan Kesehatan Universal (Universal Healthcare Coverage /UHC) sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) tujuan ke-3 yaitu Kehidupan Sehat dan Sejahtera.
Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, sebagai landasan operasional dalam berbangsa dan bernegara menyebutkan bahwa kesehatan didefinisikan secara luas, yaitu “Keadaaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup secara produktif secara sosial dan ekonomis”. Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait HAM menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, rumah, perawatan kesehatan, serta pelayanan sosial yang diperlukan”. Hal ini pun diakui pula dalam konstitusi Indonesia dalam pasal 28H ayat 1 yang menyebutkan bahwa : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin; Bertempat tinggal; dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan“. Dalam hal ini, penyediaan fasilitas kesehatan merupakan tanggung jawab negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 Ayat 3, yang berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.”
Saat ini, fasilitas pelayanan kesehatan masih belum merata, untuk dapat menjangkau masyarakat-masyarakat di pedalaman. Namun disisi lain, kondisi sekarang dimana dunia sedang dilanda Pandemi global Covid-19, mengharuskan fasilitas kesehatan dapat menjangkau semuanya tanpa terkecuali. sebab penyebaran virus tak kenal siapa dan dimana dia tinggal. Berdasarkan profil kesehatan tahun 2019, penyebaran penduduk di Indonesia masih belum merata, hal ini dapat dilihat dari tingkat kepadatan penduduk yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 15.900.08 Jiwa/Km2, adapun Provinsi dengan kepadatan penduduk terendah yaitu Papua Barat sebesar 9,32 Jiwa/Km2. Disini dapat kita lihat, bahwa terdapat ketimpangan yang sangat signifikan dari tingkat kepadatan penduduk.
Disamping itu, rasio ketersediaan Puskesmas kecamatan tertinggi adalah provinsi DKI Jakarta sebesar 7,16 Puskesmas/Kecamatan. Sedangkan rasio ketersediaan Puskesmas terendah terdapat di provinsi Papua barat yaitu sebesar 0,28 Puskesmas/Kecamatan. Rasio ini dapat menggambarkan kondisi aksebilitas masyarakat dalam menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan primer, dan didapatkan pula bahwa provinsi Papua barat rasio ketersediaan fasilitas kesehatan primer yaitu Puskesmas kurang dari 1, itu menunjukkan bahwa belum semua kecamatan di Papua barat memiliki Puskesmas. Disisi lain, berdasarkan Permenkes No.43 Tahun 2019 tentang Puskesmas, Pasal 2 Ayat 2 disebutkan bahwa pembangunan kesehatan yang diselenggarakan Puskesmas adalah dilingkungan kecamatan dalam rangka mewujudkan kecamatan sehat. Dari hal ini dapat dilihat jelas bahwa pemerataan kesehatan terkesan belum merata.
Perlu dipahami bersama, bahwa keterbukaan akses mobilisasi merupakan kunci dari pemerataan, baik dalam aspek kesehatan, ekonomi dan lainnya. Pemerintah melalui kementrian kesehatan menyadari pemerataan kesehatan harus terus di upayakan, karena itu merupakan HAM yang harus didapatkan oleh setiap individu tanpa mengenal siapa dan dimana, walaupun keterbukaan akses utamanya ke daerah pedalaman masih menjadi penghalang dari pemenuhan HAM tersebut.
Berangkat dari masalah diatas, pemerintah berupaya melakukan trobosan dalam upaya menyelesaikan masalah pemerataan kesehatan, yaitu dengan menghadirkan program Nusantara Sehat yang bertujuan untuk mewujudkan layanan kesehatan primer yang dapat dijangkau oleh setiap anggota masyarakat, terutama oleh masyarakat yang berada di wilayah terpencil di berbagai pelosok Nusantara. Nusantara sehat merupakan program yang peserta didalamnya terdiri dari tenaga profesional, dengan latar belakang pendidikan kesehatan, seperti dokter, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, dan tenaga kefarmasian yang usianya dibawah 30 tahun. Dalam program nusantara sehat ini tiap peserta akan ditugaskan selama 2 tahun di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan terluar (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan ( DBK ).
Menurut penulis, pembangunan dan pemerataan kesehatan tidak bisa dilakukan hanya dengan aksi pemerintah saja, tapi perlu adanya kolaborasi serta dukungan dari berbagai pihak baik kesehatan maupun non-kesehatan. Dengan program yang telah berorientasi terhadap problem yang dihadapi, perlu adanya pula evaluasi serta transparansi secara continue terhadap publik, atas pencapaian yang telah diperoleh, agar terciptanya efisiensi dan hasil yang nyata. Besar harapan penulis, dengan masifnya pembangunan akses untuk mobilisasi ke daerah-daerah terpencil, pemerintah dapat mengambil aksi nyata untuk mengatasi permasalahan pemerataan kesehatan terlebih dahulu, sebab kesehatan adalah hal yang sangat mendasar yang harus dipenuhi oleh setiap indovidu untuk menggali potensi dirinya.