Vaksinasi, Mudik, dan Wisata

Hnews.id | Sudah 1 tahun lebih Pandemi Covid-19 masih melanda dunia. Terhitung sejak 2 maret 2020 menjadi titik awal Indonesia mulai terjamah Covid-19. Anniversary ke 1 tahun di Indonesia ini menambah carut marut permasalahan yang sering terjadi, mulai dari kebijakan, sosialisasi, dan penerapannya ke masyarakat. Yang terbaru adalah pelaksanaan WFH yang mulai berangsur dikembalikan seperti semula, Vaksinasi yang mulai dilakukan secara berkala dengan dibagi beberapa gelombang menyesuaikan sasaran pada orang yang diprioritaskan, pelarangan mudik yang diterapkan dalam rangka pencegahan terbentuknya klaster penyebaran baru, dan pembukaan ruang wisata masyarakat dalam menekan laju mudik.

Seperti yang dicanangkan oleh pemerintah, vaksinasi yang dilakukan dalam rangka memberikan kekebalan tubuh bagi masyarakat dilaksanakan sejak 13 Januari 2021 yang ditandai dengan divaksinnya Presiden RI Joko Widodo, sekaligus sosialisasi kepada masyarakat dengan metode penyiaran langsung lewat TV dan media sosial. Target yang ditentukan oleh Pemerintah ini diarahkan pada 40 juta orang yang akan divaksin sebagai gelombang pertama dengan prioritas tenaga kesehatan, aparatur negara yang bertugas langsung bersama tenaga kesehatan, dan petugas pelayanan publik seperti pejabat pemerintahan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk dukungan imunitas agar pelaksanaan pelayanan kesehatan tetap terjaga, demi menekan angka penyebaran baru Covid-19.

Untuk lebih efektifnya pelaksanaan vaksin, maka penulis berharap agar pemerintah tetap lakukan sosialisasi vaksinasi dan efeknya, termasuk target yang akan dilakukan pada pelaksanaan vaksinasi ini. Dengan demikian masyarakat tidak perlu khawatir terkait efek yang akan ditimbulkan, keterjangkauan yang disubsidi langsung oleh Pemerintah, dan juga jaminan mutu vaksin yang aman bagi masyarakat. Hal ini perlu disampaikan pemerintah, agar masyarakat mendapat informasi sejelas-jelasnya tentang vaksin, dalam rangka kepercayaan masyarakat meningkat, dan dilema masyarakat hilang.

Dalam hal pelarangan mudik, pemerintah tidak secara pasti mengatur terkait mudik dan hanya memberikan batasan pada pelarangan mudik ini. Ketidakjelasan terjadi ketika pemerintah merasa harus menekan angka penyebaran, tetapi disatu sisi perlu melihat peluang pemasukan negara dengan membuka sektor wisata. Pada awalnya pelarangan mudik hanya dilakukan pada batas lintas provinsi yang berarti membolehkan mudik lokal atau algomerasi. Tetapi di kebijakan selanjutnya pemerintah menutup juga peluang mudik lokal atau algomerasi dengan mengalihkan, jika berwisata diperbolehkan. Tetapi kembali berubah bahwa kebijakan berwisata hanya dibolehkan bagi masyarakat lokal sehingga tidak ada akses pergerakan dari luar daerah.

Berdasarkan UU Kekarantinaan, penulis berpendapat seharusnya pemerintah dengan tegas memprioritaskan terjaminnya kesehatan bagi masyarakat dengan melarang mudik secara penuh dan penutupan tempat wisata secara menyeluruh. Pelarangan mudik ini juga bisa dibarengi dengan tracing bagi masyarakat perbatasan daerah yang wilayahnya sering digunakan sebagai akses mudik. Sehingga setiap jalan tikus yang ada dapat tertutup dengan baik. Aparatur negara seperti Dishub, Satpol PP, TNI, dan Polri dapat dengan gamblang melakukan tindakan tegas, jika ada masyarakat yang memaksakan diri melakukan mudik. agar tujuan dari kebijakan larangan mudik yang dibuat dapat terlaksana dengan baik. Melihat adanya arus balik mudik, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan tegas yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI Jakarta) yang melakukan tracing pada masyarakat yang baru pulang mudik dengan melibatkan berbagai stakeholder seperti kecamatan, kelurahan, dan RT/RW.

Related posts