Pengendalian Vektor DBD di Masyarakat

Hnews.id | Sebagai negara dengan iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi menjadikan Indonesia tempat yang “nyaman” untuk berkembang biaknya nyamuk, termasuk nyamuk Aedes Aegypti dan nyamuk Aedes Albopictus sebagai pembawa virus dengue. Tidak heran sebagian wilayah Indonesia menjadi endemis kasus Demam Berdarah Dengue (DBD). DBD menyerang hampir di semua golongan usia dan sosial ekonomi. Belum ditemukannya obat dan vaksin sebagai perlindungan menjadikan upaya preventif menjadi alternatif utama dan pertama yang bisa kita lakukan agar terhindar dari penyakit ini.

Kondisi sakit yang dialami oleh setiap orang bisa berbeda tingkat keparahannya, namun secara umum dapat kita kenali gejala-gejala secara umum seperti :

  • Demam tanpa sebab tinggi selama 2-7 hari.
  • Muncul bintik merah di kulit.
  • Mual.
  • Mimisan, pendarahan gusi.
  • Nadi berdenyut cepat dan lemah bahkan sampai tidak teraba, hipotensi sampai dengan tidak terukur, tangan dan kaki teraba dingin, pasien tampak gelisah; fase ini dapat dikatakan sebagai syok.

Secara umum DBD dapat sembuh dengan penanganan yang cepat dan tepat, namun dapat berakibat kematian jika kita lengah dan terlambat dalam penanganan. Hal yang patut dikhawatirkan jika terjadi ledakan kasus (KLB) di suatu wilayah, yang menyebabkan fasilitas kesehatan (Rumah Sakit/Puskesmas) mendapatkan jumlah pasien yang butuh perawatan dalam waktu yang bersamaan. Sehingga fasilitas pelayanan kesehatan kekurangan tempat yang memadai untuk melakukan peawatan pasien. Maka tak heran jika banyak Rumah Sakit  dan Puskesmas yang menyediakan tempat tidur tambahan hingga di selasar/lorong ruangan. Belum lagi jika ada penolakan fasilitas pelayanan kesehatan terhadap pasien, karena kondisi pelayanan yang sudah “overload”. Kondisi ini bisa saja menimbulkan kepanikan di keluarga pasien dan masyarakat pada umunya.

Oleh karena itu, jika dalam satu waktu kasus di suatu wilayah sedang meningkat dan intensitas jumlah nyamuk yang tinggi, maka untuk memutus rantai penularan lebih luas lagi, maka upaya fogging (pengasapan) menjadi solusi yang tepat untuk dilakukan. Namun apakah setelah itu masalah DBD selesai? Tentu saja tidak, fogging hanya dapat membunuh nyamuk dewasa, sementara telur dan jentik nyamuk masih bertahan dan dapat berkembang menjadi nyamuk dewasa yang baru. Selain itu, fogging dapat menyebabkan resistensi atau kekebalan terhadap nyamuk, jika dilakukan dengan cara yang tidak benar, serta adanya risiko kesehatan bagi manusia dan hewan peliharaan. Fogging juga membutuhkan dana yang relatif besar. Dari beberapa hal yang penulis tuliskan tentang fongging, maka dapat disimpulkan fogging bukanlah solusi yang jitu dalam pengendalian kasus DBD di masyarakat.

Cara yang tepat dan efektif dalam pengendalian DBD di masyarakat, yakni dengan melakukan pencegahan yang titik fokusnya melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), yang kita kenal dengan istilah 3M plus.

  1. Menguras dan menyikat bak mandi atau sejenisnya.
  2. Menutup tempat penampungan air.
  3. Memanfaatkan atau mendaur ulang barang bekas.

PLUS “mencegah gigitan dan perkembangbiakan nyamuk”.

Kegiatan PSN dapat diperkuat dengan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yang dilakukan oleh Juru pemantau jentik (Jumantik). PJB adalah kegiatan yang rutin dilakukan seminggu sekali dengan melakukan pengamatan di tempat-tempat (wadah) yang berpotensi menampung air. Mengamati apakah terdapat jentik atau tidak. Jika ditemukan jentik maka segera dibuang dan wadah dibersihkan. Dibeberapa kabupaten/kota sudah mengenalkan Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik. Mendorong anggota keluarga untuk menjadi jumantik di rumahnya masing-masing. Jumantik tersebut akan berperan sebagai agen perubahan dengan mengubah perilaku penghuni rumah ke arah yang lebih sehat dan bersih. Setidaknya dengan mengawal gerakan 3M+ yakni mengubur, menguras, serta menutup sumber-sumber tumbuh kembangnya jentik nyamuk Aedes aegepty/albopictus.

Indikator keberhasilan dari kegiatan PJB adalah dengan didapatkannya jumlah Angka Bebas Jentik (ABJ). Disetiap daerah memiliki standar persentase ABJ, biasanya target ABJ kab/kota lebih tinggi dari yang telah ditetapkan secara nasional oleh Kementrian Kesehatan. Kementrian Kesehatan menetapkan ABJ yang memenuhi syarat adalah 80%. Yang artinya dari 100 rumah yang menjadi sasaran kegiatan PJB jika didapati rumah yang positif terdapat jentik kurang dari 20 rumah, maka wilayah tersebut masuk dalam kategori “aman” dari DBD. Sehingga masyarakat mampu melakukan tindakan pencegahan secara mandiri. Jika kegiatan PJB dilakukan secara masif oleh masyarakat maka diharapkan populasi nyamuk dapat ditekan. Dengan demikian penularan DBD dapat dikendalikan.

Menurut hemat penulis, sangat penting memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang cara-cara mencegah DBD dengan cara yang aman, nyaman dan relatif lebih murah, diantaranya:

  • Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
  • Menggunakan obat anti nyamuk.
  • Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi.
  • Gotong Royong membersihkan lingkungan.
  • Periksa tempat-tempat penampungan air.
  • Meletakkan pakaian bekas pakai dalam wadah tertutup.
  • Memberikan larvasida/abate pada penampungan air yang susah dikuras.
  • Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar.
  • Menanam tanaman pengusir nyamuk.

Related posts