Hnews.id | Secara garis besar karya seni dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu karya seni terapan (applied art) dan karya seni murni (fine art) yang keduanya masuk dalam perlindungan Hak Cipta. Seni Terapan adalah karya seni fungsional yang selain memiliki nilai estetika, juga memiliki nilai praktis untuk dapat digunakan untuk tujuan tertentu. UU Hak Cipta dalam penjelasannya memasukkan gambar, motif, ornamen dalam kategori Seni Terapan. Tapi jika melihat definisi secara umum, karya arsitektur dan logo, juga termasuk dalam kategori Seni Terapan, dan keduanya termasuk dalam perlindungan Hak Cipta. (penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf (f) (g) (h) UU No. 28/2014 Tentang Hak Cipta.
Sedangkan Seni Murni adalah karya seni yang mengutamakan nilai estetika dan ekspresi senimannya, dan tidak memiliki nilai praktis seperti halnya Seni Terapan. Beberapa contoh yang termasuk dalam karya Seni Murni seperti lukisan, patung, ukiran, musik. Yang menjadi perhatian penulis adalah seberapa efektifkah perlindungan Hak Cipta terhadap karya Seni Terapan? Menurut penulis karya Seni Terapan dan Seni Murni memiliki filosofi, proses kreatif, fungsi dan bahkan cara pemasaran yang sangat bebeda sehingga jika dimasukkan dalam satu definisi hukum akan memiliki celah kekurangan dalam perlindungannya yang dapat merugikan pihak pencipta atau pemegang hak cipta.
Penulis ambil contoh untuk karya Arsitektur, yang jelas masuk dalam perlindungan Hak Cipta (Pasal 40 Ayat (1) huruf (h), tapi seberapa efektif perlindungannya? Jika seorang arsitek mempresentasikan kepada calon Klien konsep yang telah dituangkan dalam gambar rancangan bangunan ataupun maket bangunan, kemudian ada pihak lain yang secara diam-diam tanpa izin mewujudkan konsep tersebut dalam bentuk bangunan nyata maka apakah dapat dijerat dengan Undang-Undang Hak Cipta? Untuk menjawab pertanyaan ini coba kita cermati beberapa pasal dalam UU Hak Cipta.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 41 huruf (a) (b) (c) yang berbunyi: Hasil karya yang tidak dilindungi Hak Cipta meliputi hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata; setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah Ciptaan; dan alat, Benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut diatas, terutama pada Pasal 41 huruf (a) (b), maka jelas, apabila sang arsitek belum mewujudkan rancangannya dalam wujud nyata bangunan yang merupakan hasil akhir karya arsitektur, maka tidak bisa menuntut atau menggugat pihak lain yang mewujudkannya dalam bentuk nyata bangunan. Perlindungan karya arsitektur tersebut hanya terlindungi sebatas gambar kerja, atau bahkan apabila gambar kerja tersebut masih dianggap konsep maka sesuai bunyi Pasal 41 Ayat (b) konsep termasuk hasil karya yang tidak dilindungi dalam rezim Hak Cipta.
Karya arsitektur tersebut akan menjadi sempurna terlindungi dalam rezim hak cipta apabila sang arsitek telah mewujudkan karyanya dalam bentuk nyata sebagai hasil akhir, misalnya dalam wujud bangunan jadi. Hal ini tentunya akan menjadi kendala mengingat seorang arsitek umumnya menyelesaikan karyanya sebatas gambar kerja yang juga masih bisa diperdebatkan apakah gambar kerja arsitektur tersebut merupakan hasil akhir ataukah konsep?
Menurut penulis, untuk karya arsitektur akan lebih tepat jika dilindungi dalam rezim Desain Industri, walaupun kata arsitektur tidak disebut secara eksplisit dalam Undang-Undang Desain Industri, tapi secara definisi karya arsitektur dapat dikategorikan ke dalam Desain Industri, sesuai bunyi Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, Tentang Desain Industri:
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
Frasa “dapat diwujudkan” pada bunyi pasal tersebut diatas menunjukkan bahwa Desain Industri dapat melindungi konsep atau gambar kerja yang belum diwujudkan kedalam bentuk nyata, juga pada Desain Industri yang menganut asas kebaruan (novelty), sehingga karya belum boleh diungkapkan sebelum mendapat perlindungan, hal ini justru kebalikan dari Hak Cipta yang menganut asas deklaratif.
Menurut penulis beberapa Undang-Undang HKI memang banyak terdapat saling overlapping antara Hak Cipta dengan Desain Industri ataupun dengan Merek, hal ini perlu lebih diperjelas atau diharmoniskan satu sama lain sehingga lebih memberikan perlindungan secara efektif dan memberikan kepastian hukum.