Pernikahan Dini Pada Masa Pandemi dan Faktor Kejadian Stunting

Sumber:Koleksipribadi/2021

Hnews.id | Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia meningkat selama pandemi virus corona. Hadirnya pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), jelas berdampak buruk, terutama pada perluasan pernikahan anak di usia dini. Kuantitas Pernikahan usia dini terus berkembang, meskipun otoritas publik telah memeriksa ulang usia dasar untuk menikah di Indonesia menjadi 19 tahun melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Sementara itu, banyak anak muda yang putus sekolah dan menikah, tepat ketika selama pandemi. Ada begitu banyak bahaya yang tersembunyi mengingat kejadian pernikahan dini ini, baik secara aktual maupun intelektual, dan tidak ada yang lebih dari itu. Meskipun demikian, ada satu hal yang perlu benar-benar diperhatikan, bahwa pernikahan dini dapat memperbesar bahaya gangguan kesehatan atau penyakit yang berkelanjutan. Seperti meningkatkan risiko lahirnya bayi stunting atau kurang gizi kronis.

Alasan pernikahan dini di Indonesia dikarenakan dari unsur moneter, edukatif, sosial, agama, perspektif dan keyakinan. Meningkatnya angka kemiskinan, terutama selama pandemi Corona virus, membuat sulit bagi masyrakat untuk mencari pekerjaan, sehingga  hal tesebut semakin membuat orangtua menganggap beban hidup mereka menjadi lebih besar dan akhirnya mengorbankan anak-anak mereka untuk menikah di usia muda agar bisa mengurangi beban keuangan. Selama strategi penutupan sekolah dan pelaksanaan pembelajaran di rumah saja, hal ini juga menjadi salah satu pemicu maraknya pernikahan dini. Pembelajaran latihan di rumah menyebabkan remaja memiliki lebih banyak kesempatan untuk bergaul dalam suasana lingkungan umum. Hal ini akan terjadi ketika pengawasan orang tua terhadap anak-anaknya sangat tidak diperhatian secara baik-baik, sehingga tidak dapat dihindarkan dan menyebabkan kehamilan di luar nikah, dimana kejadian tersebut akan memicu angka dispensasi meningkat di masa pandemi ini.

Maraknya kasus pernikahan dini di masa pandemi saat ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya frekuensi pernikahan dini di Indonesia. Terutama karena masih banyak orang tua menganggap pernikahan dini ini sebagai hal yang sudah biasa.

Jadi alasan mengapa pernikahan dini mempengaruhi stunting di Indonesia? karena sejak ketika sebuah pernikahan dilakukan pada saat perempuan masih remaja, mereka belum dewasa secara mental, dan pastinya masih minim akan informasi tentang kehamilan dan pengasuhan yang baik dan benar untuk anak. Selain itu, pada masa remaja, mereka membutuhkan banyak sekali nutrisi paling ekstrim hingga usia 21 tahun. Jadi ketika mereka menikah di usia remaja, misalnya 16 atau 17 tahun, tubuh ibu akan berebut makanan dengan anak yang dikandungnya. Jika pada saat selama kehamilan dan ibu mengalami gizi  kurang, maka bayi akan rentan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan hal tersebut akan sangat berisiko terjadinya stunting.

Stunting akan menyebabkan berkurangnya efisiensi dan kualitas pada SDM. Selain itu, dampak negatif yang terjadi pada bayi meliputi kesehatan mental, perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pada pertumbuhan fisik, serta metabolisme tubuh. Selain itu, pengaruh yang berkepanjangan mencakup penurunan kerentanan dan risiko tinggi penyakit keturunan seperti diabetes, kegemukan, dan penyakit jantung. Selain itu, organ reproduksi wanita hamil di bawah 18 tahun masih dalam tahap remaja. Karena pada usia tersebut, organ rahim misalnya belum tumbuh sempurna, sehingga sangat berisiko mengganggu perkembangan pada janin dan dapat menyebabkan siklus kelahiran yang tidak wajar sehingga dapat mengakibatkan keguguran.

Pada dasarnya, tidak ada patokan khusus untuk usia terbaik untuk kehamilan. Padahal, seorang wanita akan mulai memasuki usia produktif pada usia 21 tahun. Jika dilihat dari segi ilmu pengetahuan, ketika pada usia 21-35 tahun, wanita akan memiliki tingkat kematangan yang jauh lebih tinggi dan juga disertai dengan sel telur yang dihasilkan sangat melimpah. Selain itu, untuk risiko masalah kehamilan seperti lambatnya pembukaan jalan lahir dan risiko melahirkan anak yang cacat pada wanita dewasa 21-35 tahun juga sangat kecil. Oleh karena itu, ketika usianya belum genap 19 tahun, ada baiknya menunda keinginan untuk menikah terlebih dahulu. Selain itu, saat ini sudah ada undang-undang, untuk usia laki-laki dan perempuan harus minimal 19 tahun untuk menikah.

Dari peningkatan pernikahan dini yang terjadi selama masa pandemi ini, tentunya kita menginginkan angka kejadian tersebut menurun supaya juga dapat meminimalisir resiko angka terjadinya stunting di Indonesia, dengan beberapa cara, seperti memampukan anak-anak dengan data dan kemampuan, mendidik dan memberikan pemahaman kepada orangtua dalam membangun lingkungan yang baik untuk anak-anak, mengedukasi anak terkait kesehatan dan reproduksi, dan memberikan dukungan ekonomi kepada anak dan keluarganya serta dengan mengoptimalkan peran dan fungsi layanan kesehatan yang ada di masyarakat, salah satunya adalah melalui Puskesmas Ramah Anak (PRA). Puskesmas Ramah Anak yang berperan penting untuk mencegah perkawinan anak, hal ini tak kalah luput dalam mendukung upaya percepatan penurunan stunting, serta risiko kesehatan lainnya.

Selain itu masalah stunting yang dihadapi saat ini membutuhkan kolaborasi, kesetaraan semua, dan yayasan (K/L), pemerintah daerah (Pemda) terdekat, dunia usaha, dan terlebih lagi masyarakat daerah setempat seperti PKK, posyandu. Melalui pelayanan keagamaan dan pelayanan kesejahteraan sebagai garda terdepan seperti halnya pelayanan korespondensi dan informatika untuk mengaitkan dampak pernikahan dini, maka pentingnya dilakukan pendampingan, khususnya pada remaja dimana mereka diberikan informasi tentang bagaimana cara menciptakan keluarga yang sehat untuk memiliki sumber daya manusia (SDM) yang sehat dan tentunya unggul.

Related posts