Hnews.id | Akhir-akhir ini masalah kesehatan mental banyak diperbicangkan kembali oleh masyarakat Indonesia, terlebih setelah mencuatnya kasus bunuh diri oleh salah satu mahasiswi Universitas Brawijaya Malang, Novia Widyasari yang dilakukan di dekat makam ayahnya. Kasus bunuh diri yang menimpa mahasiswi asal Mojokerto ini bermula dari depresi akut yang dialami selama kurang lebih 3 tahun, yakni sejak tahun 2018 yang dipicu oleh adanya pemerkosaan dari pacarnya, dipaksa aborsi sebanyak 2 kali pada Maret 2020 dan Agustus 2021, adanya tekanan dari anggota keluarga, dan dipicu pula karena ayahnya meninggal dunia.
Kasus Novia Widyasari yang menggemparkan sosial media ini hanyalah satu dari jutaan kasus terkait kesehatan mental yang serupa. Hanya saja, kasus-kasus kesehatan mental yang lain belum terungkap karena mungkin korban mengalami tekanan dari pelaku atau karena malu menceritakan dan melaporkan kepada pihak yang bersangkutan, seperti Komnas Perempuan, Kepolisian, atau ke Layanan Konseling.
Berbicara mengenai kesehatan mental, kesehatan ini sebenarnya sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Namun kesehatan mental kurang mendapat perhatian dan pemahaman dari masyarakat, tidak seperti kesehatan fisik yang sudah mampu dipahami oleh masyarakat (Jorm, 2010). Menurut Putri (2015), kesehatan mental didefinisikan sebagai sebuah kondisi dimana seseoang dapat menjalankan kehidupannya secara normal. Apabila seseorang tidak dapat menjalankan kehidupannya secara normal, maka dapat dikatakan seseorang tersebut menderita gangguan kesehatan mental.
Gangguan kesehatan mental pada umumnya terjadi pada seseorang yang masih muda atau remaja. Data dari Canadian Community Health Survey menunjukkan bahwa kelompok usia yang rentan mengalami gangguan kesehatan mental adalah kelompok usia muda (Marcus dan Westra, 2012). Sementara di Indonesia, berdasarkan riset yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2018, menunjukkan angka prevalensi gangguan kesehatan mental yakni mencapai 6,1% pada kelompok usia muda atau sekitar 11 juta orang.
Permasalahan gangguan kesehatan mental di Indonesia, seperti depresi tidak bisa dianggap remeh. Seseorang yang depresi tidak bisa berfikir secara jernih karena psikisnya terganggu, selain tidak bisa berpikir secara jernih, seseorang yang depresi juga tidak bisa mengendalikan emosi, menganggap dirinya tidak berharga, dan merasa sangat terpuruk. Akibatnya, depresi yang sudah memasuki fase akut bisa memicu seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bagi seseorang yang depresi, bunuh diri adalah jalan pintas untuk menyelesaikan segala masalah yang dihadapi.
Mengaca pada kasus Novia Widyasari dan kasus-kasus kesehatan mental lainnya, maka sudah saatnya masyarakat Indonesia, khususnya remaja memahami betul tentang pentingnya kesehatan mental dan jangan menganggap remeh atau gampang bahaya gangguan kesehatan mental. Jika gangguan kesehatan mental ini tidak segera di atasi dan penderita terlalu lama memendam rasa tertekan, dikhawatirkan penderita gangguan kesehatan mental tersebut akan benar-benar mengambil langkah bunuh diri untuk menyudahi tekanan atau tuntutan yang menimpa dirinya. Masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan kesehatan mental atau melihat orang lain dalam kondisi yang demikian, supaya segera menghubungi pihak-pihak yang dapat memberikan pencerahan dan membantu mengatasi persoalan-persoalan yang tengah dihadapi.Jangan justru menjauhi, menyalahkan ataupun memberikan stigma buruk bagi mereka, sebab yang dibutuhkan oleh seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental adalah support atau dukungan, baik moral mapun psikis.
Disamping diperlukan kontribusi dari masyarakat untuk mengatasi persoalan mental illness di Indonesia, juga diperlukan peran serta pemerintah. Salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam mengatasi mental illness saat ini adalah dikeluarkannya UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. UU No. 18 Tahun 2014 ini ditujukan untuk menjamin setiap orang agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dalam hal ini, upaya promotif dan preventif termasuk dalam upaya pencegahan. Sedangkan upaya pengobatan, berupa upaya kuratif dan rehabilitatif. Dari upaya-upaya tersebut, saat ini Pemerintah Indonesia lebih menjadikan tindakan pencegahan sebagai fokus utamanya. Tindakan pencegahan yang sudah dilakukan pemerintah dalam mengatasi persoalan mentall illness di kalangan remaja yakni :
- Bekerjasama dengan guru-guru BK atau Bimbingan Konseling di sekolah-sekolah (SD, SMP dan SMA) dalam melakukan program penyuluhan kepada peserta didik. Program penyuluhan tersebut berkaitan dengan pentingnya kesadaran mental illness, konseling mengenai tindakan bullying, pelecehan seksual, dan lainnya yang bisa menyebabkan gangguan mental, dan mengenai langkah yang harus dilakukan apabila peserta didik mengalami gangguan mental.
- Mengeluarkan peraturan Menristekdikti No 46 Tahun 2017, yang mana dengan peraturan ini perguruan tinggi dapat mendirikan layanan konseling bagi mahasiswa yang mengalami masalah mental illness.
- Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengembangkan sebuah aplikasi berbasis android yakni aplikasi “sehat jiwa”, yang mana aplikasi ini bertujuan untuk memberikan informasi seputar kesehatan mental kepada masyarakat, tidak terkecuali para remaja. Aplikasi ini juga menawarkan solusi yang mudah dalam melaporkan serta mendeteksi secara dini gangguan kesehatan mental atau mental illness.
- Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan membuka layanan kesehatan jiwa bergerak (Mobile Mental Health Service/MMHS) yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan individu masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan mental dan mendeteksi kasus kesehatan mental lebih dini.
Meski lebih berfokus pada tindakan pencegahan, pemerintah tidak serta merta melupakan upaya pengobatan bagi penderita mental illness di Indonesia. Berkaitan dengan upaya pengobatan, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan saat ini sudah menyediakan psikolog klinis di setiap daerah di Indonesia, baik di Rumah Sakit maupu Puskesmas dan masyarakat bisa menggunakan BPJS. Untuk mengatasi ketimpangan jumlah psikolog klinis yang terdapat di tiap daerah, Kementrian Kesehatan berupaya melakukan pendelegasian wewenang kepada dokter dan tenaga perawat untuk melakukan pertolongan pertama kepada penderita mental illness. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mengatasi persoalan mental illness di kalangan remaja disamping membutuhkan peran serta masyarakat juga membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Melihat upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah, menurut penulis pemerintah dalam menyikapi persoalan mental illness di kalangan remaja sudah sangat serius dan sudah baik. Hal ini dilihat dari upaya-upaya pencegahan yang melibatkan kementrian kesehatan dan lembaga pendidikan serta upaya pengobatan gratis kepada masyarakat penderita mental illness. di fasilitas kesehatan melalui BPJS.