Hnews.id | Remaja diartikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. (WHO) menjelaskan batasan usia yaitu 12 sampai 24 tahun. Dilihat dari sensus penduduk tahun 2000, jumlah remaja yang ada di Indonesia yaitu 62.594.200 jiwa atau diperkirakan 30,41 % dari total seluruh penduduk Indonesia (BPS, 2000). Pada umumnya remaja mempunyai rasa ingin tahu yang cukup tinggi (high curiousity termasuk yang berhubungan dengan masalah seksualitas (Ali & Asrori, 2006). Oleh sebab itu, seksualitas dianggap suatu masalah utama pada perkembangan kehidupan remaja. Budaya global saat ini secara positif mempunyai muatan ilmu pengetahuan, sosial, kebudayaan dan teknologi, tetapi secara negatif ini juga bermuatan materi pornografi yang didengar ataupun dilihatnya perilaku seksual melalui media majalah, tabloid, buku-buku, televisi,surat kabar, tabloid, internet, radio, film-film dan video. Seiring berkembangnya waktu, ikut mempengaruhi perilaku seksual dalam berpacaran remaja. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan free sex. Perubahan terhadap nilai ini misalnya pandangan remaja tentang hubungan seks sebelum menikah.
Menurut PKBI, kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat perilaku tersebut dapat menyebabkan Kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang selanjutnya memicu praktik aborsi yang tidak aman, penularan PMS dan HIV/AIDS, bahkan kematian (PKBI, 2000). KTD merupakan kehamilan saat dimana salah satu atau kedua belah pihak dari pasangan tidak menginginkan terjadinya kehamilan sama sekali atau kehamilan yang sebenarnya diinginkan tapi tidak pada saat itu. KTD disebabkan oleh pemerkosaan seks bebas atau seks pranikah, kepercayaan terhadap mitos seperti berhubungan seks sekali tidak akan menyebabkan kehamilan, dan minum alcohol dan lompat-lompat pasca berhubungan seksual dapat menyebabkan sperma tumpah kembali sehingga tidak akan menyebabkan kehamilan.
Ada beberapa karakteristik remaja yang berpotensi menyebabkan terjadinya KTD yaitu krisis identitas atau pencarian identitas diri, sehingga pengaruh lingkungan yang tidak baik dan kurangnya informasi yang benar menyebabkan permasalahan termasuk KTD. Adapun dampak dari KTD pada remaja antara lain :
- Tekanan psikologis anksi sosial
- Putus sekolah
- Kerentanan terjadinya gangguan pada Kesehatan organ reproduksi
- Perasaan malu
- Sensitive atau mudah marah
- Peningkatan kasus aborsi
Bila ada penyebab maka ada pencegahan sebagai berikut, peran orang tua yang membekali anak dengan dasar moral dan agama, peran pendidik/guru yang menciptakan kondisi sekolah yang nyaman dan aman bagi siswa, peran media yang bertanggung jawab menyajikan tayangan yang layak untuk ditonton bagi remaja, serta peran remaja itu sendiri yang berhati-hati dalam bergaul dan memilih teman, karena bisa jadi teman dekat yang dapat menjerumuskan untuk melakukan seks bebas seehingga berujung pada KTD. Bagaimana bila sudah terjadi KTD? Pertama sebaiknya beritahu kehamilan pada orang yang dipercaya, terutama keluarga (orang tua) kedua belah pihak; tetap mempertahankan kehamilan; bagi mereka yang mengalami KTD, dukungan lingkungan sangat diperlukan; serta untuk para remaja, mulailah untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri karena masa depan berada ditangan remaja itu sendiri.
Kasus sporadis seksualitas remaja semakin mengkhawatirkan, karena seksualitas remaja saat ini berada di luar batas yang cukup mengkhawatirkan, terutama pada masa remaja akhir. Saat ini, remaja cenderung toleran terhadap seks bebas. Hal ini disebabkan terbukanya peluang untuk kegiatan pacaran yang mengarah pada seks bebas. Pada saat yang sama, terjadi pergeseran nilai-nilai moral yang berkembang di masyarakat, sehingga masalah tersebut seolah-olah sudah menjadi hal yang lumrah, padahal penyimpangan seksual merupakan hal yang harus dihindari oleh setiap orang. Kebebasan seksual di kalangan remaja, termasuk pelajar, merupakan salah satu faktor risiko HIV/AIDS, penyakit menular seksual (PMS), kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), dan aborsi, yang dapat menyebabkan cacat tetap atau kematian.
Data tambahan yang diperoleh dari PILAR PKBI Jawa Tengah menunjukkan bahwa pada tahun 2009, 123 orang dikonsultasikan untuk kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Dari jumlah tersebut, 78% kasus dialami oleh remaja yang belum menikah. Dilihat dari tingkat pendidikannya, 54,5% kasus KTD terjadi pada remaja SMA dan 11,4% pada remaja (PKBI Jawa Tengah, 2009). Sementara itu, dari tahun 2010 hingga 24 Mei 2010, data dari PILAR PKBI menunjukkan ada 46 kasus KTD yang terlihat di PILAR PKBI, dimana 73% di antaranya adalah remaja yang belum menikah. Di bidang pendidikan, 37% dari pasien KTD ini adalah pelajar. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah kasus KTD yang dialami remaja semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Begitu pula dengan proporsi kasus KTD yang dialami oleh mahasiswa mengalami peningkatan. Hasil studi kasus tentang seksualitas mahasiswa yang dilakukan oleh Pusat Informasi dan Layanan Pemuda (PILAR) PKBI Jawa Tengah pada bulan Juni-Juli 2006 menunjukkan bahwa dari 500 responden mahasiswa di Semarang, 31 (6,2%) mengatakan bahwa : Mereka melakukan hubungan seksual berhubungan badan dan 111 (22%) melakukan cumbuan (PKBI Jawa Tengah, 2006). Penelitian lain yang dilakukan oleh PILAR PKBI Jawa Tengah terhadap 500 remaja di Semarang pada Juli 2009, meliputi 243 responden perempuan, 11 dan 257 responden laki-laki dari berbagai SMA di Semarang, menunjukkan bahwa 40 laki-laki (8%) mengatakan pernah berhubungan seks, sedangkan 56 orang (11%) mengatakan pernah meraba payudara atau alat kelamin pasangannya (PKBI Jawa Tengah, 2006).
Kota Semarang merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia dan merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Kota Semarang merupakan kota dengan jumlah Perguruan Tinggi terbanyak di Jawa Tengah yaitu 65 Perguruan Tinggi, dimana 4 Perguruan Tinggi Negeri dan 61 Perguruan Tinggi Swasta. Dari segi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya, sebagian besar mahasiswa PTN dan PTS Semarang berasal dari luar Semarang. Mereka memilih kos-kosan sebagai tempat tinggal mereka. Namun kenyataannya, ketika memilih rumah kos, mereka lebih memilih yang tidak memiliki banyak peraturan pemilik, bahkan banyak yang memilih kontrak rumah sendiri. Terisolasinya pengawasan orang tua dan longgarnya pengawasan pemilik kos dan masyarakat sekitar memberikan peluang bagi santri untuk terlibat dalam perilaku yang mengarah pada kebebasan.
Selain itu, kedekatan dengan teman sebaya yang dianggap dapat menggantikan ikatan keluarga, dan keinginan untuk diterima oleh lingkungan sosial yang begitu besar dapat menggagalkan semua nilai yang diperoleh dari orang tua dan sekolah. Lingkungan sosial yang dimasuki remaja juga bisa berdampak negatif pada menekan teman yang belum pernah berhubungan seks.