Hnews.id | Manajemen Risiko di Rumah Sakit adalah Harga Mati
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, meliputi pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (PP No. 47 Tahun 2021). Rumah sakit sebagai sebuah institusi pelayanan publik dituntut untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan aman dalam memenuhi kebutuhan pasien. Sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan, rumah sakit memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan dan kesehatan sumber daya manusia rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit (Kemkes RI, 2016).
Tingginya risiko yang ada di rumah sakit dapat digambarkan melalui hasil dari penelitian di Iran yang mengungkapkan bahwa sekitar 2.9%-16.6% pasien mengalami kejadian yang tidak diinginkan dan 5%-13% diantaranya berakibat pada kematian, dimana 50% dari kejadian ini sebenarnya dapat dicegah (Adibi et al., 2012). Di Indonesia, laporan insiden keselamatan pasien menunjukkan bahwa kasus Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) adalah 14,41% dan Kejadian Nyaris Cedera (KNC) sejumlah 18,53%, yang disebabkan karena proses atau prosedur klinik (9,26%), medikasi (9,26%) dan pasien jatuh (5,15%) (KKP RS, 2011). Selain itu, sebagai institusi yang kompleks, rumah sakit juga menghadapi risiko non klinis terkait aspek operasional dan manajerial yang juga harus dikelola dengan baik agar rumah sakit dapat bertahan, berkembang, dan memiliki daya saing.
Berbagai risiko yang dihadapi oleh rumah sakit, memerlukan pengelolaan dalam bentuk manajemen risiko yang komprehensif. Menurut The Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO), manajemen risiko merupakan aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respon rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko (risk financing).Manajemen risiko harus terintegrasi dengan proses-proses dalam organisasi. Manajemen risiko akan menyediakan sebuah framework yang memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih efektif (Kavaler, 2003).
Implementasi Manajemen Risiko: Tak Hanya di Atas Kertas
Hasil penelitian di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, menunjukkan bahwa setelah 3 (tiga) tahun berjalan, proses pelaksanaan manajemen risiko masih mengalami berbagai kendala, di antaranya adalah pelaksanaan yang hanya berfokus pada laporan, kurangnya dukungan SOP yang lebih operasional serta lemahnya sistem monitoring dan evaluasi (Rahmawati et al, 2016). Pada masa pandemi Covid-19, pelaksanaan manajemen risiko di Rumah Sakit Kariadi Semarang juga masih mengalami kendala, di antaranya yaitu ketidakpahaman pegawai berkaitan dengan manajemen risiko di masa pandemi dan kurangnya pemantauan berkala (Izza, 2020). Pandemi Covid-19 juga menyebabkan manajemen risiko tidak berjalan dengan optimal di Rumah Sakit Islam Surabaya A. Yani sehingga pemantauan atau pemeriksaaan manajemen risiko tidak sesuai jadwal (Firmansyah, 2022).Hasil penelitian tersebut setidaknya menggambarkan bahwa pelaksanaan manajemen risiko ternyata belum membudaya dalam organisasi di rumah sakit. Pada masa pandemi Covid-19 yang memerlukan penguatan manajemen risiko, justru didapati bahwa pelaksanaan manajemen risiko mengalami hambatan.
Budaya Peduli Risiko sebagai Wujud Internalisasi Manajemen Risiko
Terdapat pengertian yang salah di hampir setiap organisasi bahwa manajemen risiko adalah tanggung jawab pimpinan tertinggi semata (Nurhayanto, 2009). Seluruh pegawai rumah sakit memegang kunci keberhasilan pelaksanaan manajemen risiko sebagai pemilik dan pengelola risiko. Berbagai karakter dan perilaku dari masing-masing pegawai harus dikelola oleh rumah sakit dengan menciptakan budaya di mana setiap pegawai dituntut untuk menjadi pemimpin risiko atas setiap tugas yang diembannya (Fariani, 2020).
Budaya peduli risiko menjadi wujud internalisasi manajemen risiko tersebut kepada setiap pegawai. Budaya Peduli Risiko (Risk Awareness Culture) adalah suatu pola perilaku semua personil/pegawai dalam berinteraksi dan berpersepsi pada suatu organisasi yang mempertimbangkan risiko dalam setiap proses pengambilan keputusan dan cara melakukan pekerjaan secara berkelanjutan (Fariani, 2020).
Budaya Peduli Risiko hendaknya dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai organisasi dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai sasaran di seluruh jajaran organisasi. Budaya Peduli Risiko diwujudkan melalui pemahaman dan pengelolaan risiko sebagai bagian dari setiap proses pengambilan keputusan di seluruh tingkatan organisasi, antara lain berupa:
- komitmen pimpinan untuk mempertimbangkan risiko dalam setiap pengambilan keputusan
- komunikasi yang berkelanjutan kepada seluruh jajaran organisasi mengenai pentingnya manajemen risiko
- penghargaan terhadap mereka yang dapat mengelola risiko dengan baik
- pengintegrasian manajemen risiko dalam proses organisasi. (Fariani, 2020)
Strategi Mewujudkan Budaya Peduli Risiko
Kinerja organisasi akan semakin baik jika didukung dengan budaya organisasi, sistem, dan struktur organisasi yang baik. Langkah-langkah penting yang harus diperhatikan dalam merumuskan strategi pengembangan budaya peduli risiko adalah:
- Komitmen pimpinan untuk menciptakan satu irama yang sama (tone at the top). Komitmen pimpinan menjadi pendorong dan penggerak utama utama untuk memulai budaya peduli risiko.
- Edukasi kepada seluruh stakeholder. Edukasi kepada seluruh stakeholder dilakukan untuk menanamkan pemahaman mengenai pentingnya manajemen risiko. Pelatihan, workshop, seminar, dll dapat dilakukan pada berbagai level sehingga manajemen risiko dapat dilakukan dengan standar yang sama.
- Knowledge Sharing. Kegiatan-kegiatan yang bersifat knowledge sharing mengenai manajemen risiko, dapat dilakukan sehingga pegawai dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai manajemen risiko.
- Kesinambungan dan konsistensi. Budaya akan tumbuh jika suatu kegiatan dilaksanakan secara terus menerus.
- Ketepatan metode pengembangan manajemen risiko. Pendekatan yang jelas terhadap manajemen risiko harus diciptakan sehingga setiap individu dapat melakukan manajemen risiko dengan baik. Prosedur harus didokumentasikan, disosialisasikan, untuk kemudian diimplementasikan dalam keseharian pengambilan keputusan sehingga jelas, dan tidak terjadi kebingungan terhadap langkah-langkah yang harus diambil.
Langkah-langkah tersebut perlu dilakukan secara berulang-ulang sehingga terbangun kebiasaan untuk mengelola risiko. Kebiasaan untuk mengelola risiko yang dilaksanakan berulang-ulang, dalam jangka waktu yang panjang akan membentuk suatu budaya peduli risiko (Fariani, 2020).
Terwujudnya budaya peduli risiko memang membutuhkan proses yang berulang-ulang dan panjang. Konsistensi dan penerapan sistem manajemen manajemen risiko yang berkelanjutan menjadi aspek penting dalam penerapannya. Strategi pengembangan budaya peduli risiko akan membentuk individu dari kondisi not aware menjadi aware, kebiasaan/habit, kemudian mengkristal menjadi budaya. Dengan terwujudnya budaya peduli risiko, maka manajemen risiko akan terinternalisasi dan menjadi bagian pada diri setiap individu di rumah sakit. Dengan demikian,maka diharapkan penerapan manajemen risiko di rumah sakit akan menjadi lebih terpadu, komprehensif, dan optimal.