Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Kontek Hukum

Hnews.id | Kasus pertama warga Indonesia yang terdeteksi Covid-19 diumumkan oleh Presidan Joko Widodo pada Senin, 2 Maret 2020, Presiden mengumumkan dua kasus pertama Covid-19. Dua kasus tersebut merupakan dari seorang ibu berusia 64 tahun beserta putrinya yang berusia 31 tahun asal Kota Depok, Jawa Barat. Pengumuman dari Presiden Jokowi membuat masyarakat panic buying dengan membeli banyak kebutuhan rumah tangga. Lalu selang beberapa hari tanggal 6 Maret 2020 muncul pengumuman baru dengan penambahan dua pasien Covid-19 yang merupakan rekan dari dua pasien sebelumnya.

Pemerintah Indonesia pada 31 Maret 2020 menetapkan kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat terkait Covid-19 dan kemudian menerbitkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Artikel ini membahas implikasi hukum dari ditetapkannya kebijakan tersebut. Dalam pembahasan ditemukan adanya kewenangan terpusat dalam pengambilan kebijakan terkait tindakan PSBB sehingga pemerintah daerah membutuhkan persetujuan menteri sebelum melakukan langkah pencegahan Covid-19. Kemudian ditemukan pula bahwa pemerintah akan sangat selektif dalam menetapkan PSBB di wilayah tertentu, terutama untuk PSBB berupa kegiatan di tempat atau fasilitas umum, karena pemerintah diwajibkan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.

Sejak saat itu setiap hari ada perkembangan update tentang kasus covid-19. Pemerintah lalu melaporkan kasus kematian pertama akibat covid-19, pasien tersebut merupakan Warga Negara Asing berusia 53 tahun dengan komplikasi penyakit bawaan sebelum tertular covid-19. Hari demi hari pasokan obat dan tabung oksigen mulai langka, padahal banyak yang memerlukannya, tak sedikit pasien yang tidak ada ruangan untuk isolasi mandiri dirumah maka mengikuti isolasi mandiri yang di selenggrakan oleh pemerintah di beberapa lokasi. Data satgas penanganan Covid-19 per 1 maret 2022, kasus corona di Indonesia mencapai 5.589.176, sementara kasus kesembuhan covid-19 mencapai 4.901.302, dan angka kematian akibat covid berjumlah 148.660 sejak kasus corona pertama kali ditemukan di Indonesia.

Pemerintah menegaskan dalam konsiderans PP No. 21 Tahun 2020 bahwa kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditetapkan dengan pertimbangan penyebaran Covid-19 dengan jumlah kasus dan/ atau jumlah kematian yang semakin meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara. Selain itu, dampaknya telah mengakibatkan terjadi keadaan tertentu (Kedaruratan Kesehatan Masyarakat) sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan, yaitu dengan tindakan PSBB. Dengan demikian kebijakan PSBB dapat dikatakan sebagai langkah yang berbeda dari langkah sebelumnya yang hanya sekedar imbauan meminta masyarakat untuk mengisolasi diri di rumah.

Keterkaitan Hukum Kebijakan PSBB

Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan pada pokoknya menetapkan dua hal, yaitu:  Pertama, bahwa Covid-19 diakui sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Dan kedua, bahwa kondisi tersebut menimbulkan kewajiban 2 untuk dilakukannya upaya penanggulangan sesuai ketentuan perundang-undangan. Secara hirarki peraturan perundang-undangan, PP No. 21 Tahun 2020 dibentuk berdasarkan norma yang diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan). Mengenai maksud dari PSBB, dalam Ketentuan Umum undang-undang tersebut dijelaskan: “Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”. Kebijakan PSBB hanyalah salah satu opsi dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Opsi lainnya yakni dilakukan karantina rumah, karantina wilayah, atau karantina rumah sakit. PSBB merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.

Penyelenggaraan PSBB itu berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Pasal 59 UU Kekarantinaan Kesehatan mengatur bahwa tindakan PSBB paling sedikit meliputi: a) Peliburan sekolah dan tempat kerja; b) Pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c) Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Pemerintah dalam menetapkan PSBB berupa “peliburan sekolah dan tempat kerja serta pembatasan kegiatan keagamaan” harus tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk. Sementara untuk PSBB berupa “pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum” harus memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk”. Implikasi dari pengaturan ini, yaitu 3 bahwa pemerintah tentunya akan sangat selektif dalam menetapkan PSBB di wilayah tertentu, terutama untuk PSBB berupa kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Selain itu, pemerintah daerah dan pihak swasta juga harus tunduk pada PSBB yang ditetapkan menteri (Kompas, 1 April 2020).

Karyawan perusahaan di suatu wilayah tertentu bahkan dimungkinkan untuk diliburkan jika hal itu ditetapkan, dan hal itu wajib ditaati oleh perusahaan tempatnya bekerja (cnnindonesia.com, 1 April 2020). Ketua Pelaksana Gugus Tugas juga dalam hal ini dapat mengusulkan kepada menteri untuk melakukan PSBB di wilayah tertentu. Apabila usulan tersebut diterima, maka kepala daerah di wilayah tersebut wajib melaksanakan PSBB tersebut. Selain itu, dengan ditetapkannya Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, maka berkaitan pula terhadap penegakan hukum pidana. Setiap orang yang tidak mematuhi atau menghalang-halangi penyelenggaraan PSBB dapat dijerat dengan sanksi pidana. Hal ini tentunya berbeda dengan kondisi sebelumnya, ketika social distancing hanyalah berupa suatu perintah penguasa yang bersifat imbauan. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menegaskan bahwa “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan (termasuk dalam hal ini PSBB) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Kapolri diharapkan dapat secara khusus memberikan arahan kepada jajarannya terkait prosedur penindakan, penyelidikan, dan penyidikan perkara pidana terkait penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga dapat berperan dalam memberikan jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat terkait kebijakan PSBB. Sebagai institusi yang memiliki fungsi pengawasan, DPR perlu berkordinasi dengan pemerintah agar hak-hak masyarakat terkait pemenuhan kebutuhan dasar dapat terjamin saat penerapan PSBB (Media Indonesia, 1 April 2020). DPR sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan dapat berperan dalam mengawasi kinerja pemerintah agar hak-hak masyarakat terkait pemenuhan kebutuhan dasar dapat terjamin saat penerapan PSBB. Demikian pula pengawasan terhadap kinerja POLRI dalam melaksanakan langkah penindakan dan penertiban di masyarakat terkait penerapan PSBB.

Saat ini terakhir Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa-Bali dan luar Jawa guna menekan laju virus corona (COVID-19) diimbau oleh Kemendagri PPKM berlaku 4 Oktober sampai 7 November 2022 yang berada pada PPKM level 1. Hal ini tertuang dalam Inmendagri No. 45 tahun 2022 dan Inmendagri 46 tahun 2022 yang diteken Mendagri Tito Karnavian pada 3 Oktober 2022. Alasan pemberlakuan PPKM karena masih rendah capaian Vaksinasi Booster  dosis ketiga, oleh karenanya masyarakat diimbau untuk melakukan vaksinasi booster di fasilitas layanan kesehatan agar meningkatkan antibody tubuh terhadap paparan virus Covid-19.

Related posts