Dibangkitkannya GBHN Kembali Melalui Amandemen UUD NRI 1945 : Perlukah?

Sumber:qureta.com/2023

Hnews.id | Ada dua jenis konstitusi: konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi adalah konstitusi tertulis. Konstitusi merupakan terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda disebut Gronwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan ground berarti tanah atau dasar. Setara dengan pengertian antara Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar (UUD), sebenarnya berawal dari Oliver Cromwell (Oliver Cromwell) menggunakan UUD sebagai Alat Pemerintahan, artinya UUD digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan, maka timbullah Pengakuan. dari pengertian hukum konstitusional dan fundamental.

Muncul pembahasan tentang amandemen kelima UUD 1945. Amandemen Kelima UUD 1945 memuat gagasan untuk menata kembali kebijakan nasional yang dituangkan dalam Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Aturan tentang PPHN, yaitu kebijakan nasional tentang penyelenggaraan negara, sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam waktu lima tahun, adalah aturan yang sama dengan aturan PPHN. Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebelumnya tertuang dalam Perubahan Dalam UUD 1945 sebelumnya.

Mengingat PPHN ini sama dengan aturan GBHN, aturan PPHN sangat tidak realistis untuk diterapkan. Jika melihat syarat reformasi Perubahan UUD 1945, penghapusan aturan GBHN agar sistem presidensial dapat berfungsi sesuai tugas dan fungsinya, presiden dapat menyusun program kerjanya sendiri dan dapat mensosialisasikannya langsung ke publik. Pada saat pemilihan umum, Agar masyarakat dapat mengetahui siapa calon presiden dan apakah rencana kerjanya sudah lengkap dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga ketika PPHN ini diterapkan, proses kampanye politik yang dilakukan calon presiden menjadi sia-sia belaka. Mereka tidak bisa menjual program kerja sebagai alat utama untuk memenangkan suara rakyat karena program kerja diputuskan oleh MPR. Hal ini jelas akan merusak kepresidenan yang telah terbentuk.

Selain itu sepatutnya kita perlu belajar pada sejarah terdahulu. Indonesia pernah menjalankan pola pembangunan berjangka melalui GBHN yang dibentuk oleh MPR yakni pada masa pemerintahan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, hingga Abdurahman Wahid. Bahkan, Presiden Soekarno dan Presiden Abdurahman Wahid sempat merasakan bagaimana GBHN dijadikan sebagai dasar oleh MPR untuk melakukan pemakzulan. Oleh karenanya, peluang pengulangan sejarah melalui pemakzulan Presiden besar kemungkinan bisa terjadi lagi. Dengan model GBHN, Presiden hanya diposisikan sebagai pelaksana tugas sehingga esensi Presiden sebagai pemegang arah dan komando pembangunan menjadi hilang.

Sedangkan untuk Indonesia sudah memiliki UU No.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) No. 17 Tahun 2007. Adanya RPJPN menunjukkan bahwa Indonesia sudah memiliki rencana pembangunan setiap periode, dan RPJPN 2005-2025 yang berlaku saat ini. Hal ini menghilangkan kebutuhan aturan tentang GBHN untuk merancang rencana pembangunan Indonesia. Jika elit politik serius memperbaiki arah pembangunan negara, maka tidak perlu menempuh jalur amandemen konstitusi untuk melahirkan kembali GBHN. Cukup mengikuti proses penyusunan RPJMN setiap periode dengan seksama.

Related posts