ITP: Penyakit Autoimun di Berbagai Kalangan Usia

Hnews.id | ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura/Immune Thrombocytopenic Purpura) adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang mempengaruhi trombosit atau kondisi trombosit. Kondisi ini mengakibatkan kadar trombosit dalam tubuh menjadi lebih rendah dari normal (Hasibuan, 2020). Jika kadar trombosit antara 100.000/ul dan 150.000/ul, diklasifikasikan sebagai trombositopenia ringan. Selain itu, kadar trombosit antara 50.000/ul dan 100.000/ul masuk dalam kategori sedang, dan kadar trombosit di bawah 50.000/ul termasuk dalam kategori trombositopenia berat (Saputra et al., 2018).

Orang dengan ITP sering mengeluarkan banyak darah. Hal ini disebabkan adanya antibodi yang menghancurkan trombosit dan menghambat produksi megakaryocyte. Selain itu, terdapat autoantibodi anti-megakariosit yang mengurangi kemampuan megakariosit untuk memproduksi trombosit. Megakariosit adalah sel myeloid yang menghasilkan sel darah (Sari, 2018).

Penyakit ITP biasanya memiliki beberapa gejala yang diawali dengan penyakit menular seperti rubella atau cacar air atau vaksinasi 1-3 minggu sebelumnya. Selain itu, pasien memiliki riwayat perdarahan, minum obat, perdarahan, atau memar. Pada anak dapat dilihat pada riwayat HIV ibu atau keluarga dengan trombositopenia (Rukman, 2016).

ITP dapat mempengaruhi orang-orang dari segala usia dan jenis kelamin. Secara umum, ITP paling sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang sehat beberapa minggu setelah infeksi virus non-spesifik atau lainnya seperti HIV, virus Zika, atau virus herpes zoster (Idogun, 2021).  ITP dapat dibagi menjadi ITP primer dan ITP sekunder. ITP primer adalah jenis ITP yang paling umum pada seseorang. ITP primer ditandai dengan tidak adanya kondisi klinis yang mendasari yang menyebabkan ITP, melainkan oleh autoantibodi terhadap IgG. Sedangkan ITP sekunder disebabkan oleh kondisi klinis yang memicu ITP, seperti infeksi (Wijaya, 2019). Gangguan lain seperti penyakit autoimun juga dapat menjadi penyebab ITP sekunder pada individu (Idogun, 2021).

Alur kerja diagnosis ITP dilakukan setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab trombositopenia seperti infeksi, keganasan akibat konsumsi obat, dan pemeriksaan antibodi. Jika hasil klinis menunjukkan keyakinan bahwa ITP telah terjadi, pemeriksaan sumsum tulang lebih lanjut tidak akan dilakukan. Tes sumsum tulang ini juga tidak dilakukan jika tidak ada respon setelah pemberian IVIG, kortikosteroid, atau splenektomi. Sebaliknya, jika ITP tidak responsif setelah tiga bulan, dilakukan pemeriksaan tulang (Sari, 2018).

Penatalaksanaan ITP dapat disesuaikan berdasarkan gejala dan diagnosis yang sudah dibuat. Untuk anak yang terdiagnosis ITP tetapi tanpa gejala perdarahan atau hanya sedikit perdarahan, bed rest dianjurkan dan tidak diperlukan pengobatan khusus. Pasien dewasa baru dengan trombosit di bawah 30×109/L akan direkomendasikan untuk pengobatan. Hal ini dikarenakan pasien dewasa memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak dan memerlukan penanganan yang lebih kompleks.

Penatalaksanaan ITP primer terdiri dari dua lini, terapi lini pertama dan lini kedua. Jika kadar trombosit tambahan diperlukan, IVIG atau steroid jangka pendek diberikan dalam pengobatan lini pertama. Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal selama 2 sampai 5 hari. Pemberian IVIg dapat menyebabkan efek samping termasuk sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, mual, dan demam. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi juga dapat membantu pengobatan ITP. Beberapa dari jenis kortikosteroid ini adalah metilprednisolon, yang diberikan dalam dosis yang ditentukan. Efek samping termasuk tekanan darah tinggi, sakit perut, gula darah tinggi, dan pengeroposan tulang. Kemudian, imunoglobulin anti-D dapat digunakan sebagai pengganti pada pasien ITP Rh-positif. Anti-D immune globulin harus diberikan pada pasien dengan kadar hemoglobin 10 g/dL atau lebih tinggi karena efek samping hemolisis (Sari, 2018; Wijaya, 2017).

Selain itu, terapi lini kedua diberikan pada pasien yang resisten terhadap kortikosteroid, IVIg, atau anti-D immune globulin. Beberapa dari terapi lini kedua ini termasuk rituximab, splenektomi, dan agonis reseptor trombopoietin. Studi yang dilakukan gagal mengidentifikasi alternatif pengobatan lini kedua yang efektif (Wijaya 2017).

Dalam menangani pasien ITP, diperlukan kerjasama lintas bidang untuk mengoptimalkan pemulihan pasien. Dokter, perawat, ahli hematologi, apoteker, dan apoteker harus memiliki catatan intervensi yang akurat, terkini, dan tersinkronisasi.

Referensi:

Rukman, K. (2016) Hematologi & Transfusi. Jakarta: Erlangga Medical Series.

Sari, T.T. (2018) ‘Immune thrombocytopenic purpura’, Sari Pediatri, 20(1), pp. 58–64. Available at: https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/1355.

Hasibuan, M.I.R. (2020) ‘Sistem Pakar Mendiagnosa Penyakit Itp (Idiopathic Thormbocytopenict Purpura) Menggunakan Metode Variable Centered Intelligent Rule System (VCIRS)’, Jurnal Sistem Komputer dan Informatika (JSON), 1(2), pp. 94–100. Available at: https://ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/JSON/article/view/1954.

Saputra, B.A., Rodiani and Puspita, R.D. (2018) ‘Kehamilan dengan Trombositopenia’, Medula, 8(1), pp. 94–101. Available at: https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/2132/0.

Wijaya, S. (2017) ‘Immune Thrombocytopenia’, CDK-280, 46(11), pp. 658–661. Available at: https://media.neliti.com/media/publications/399422-immune-thrombocytopenia-cf463e14.pdf .

Idogun, P.O. et al. (2021) ‘Newly Diagnosed Idiopathic Thrombocytopenia Post COVID-19 Vaccine Administration’, Cureus, 13(5), pp. 1–6. Available at: https://www.cureus.com/articles/56899-newly-diagnosed-idiopathic-thrombocytopenia-post-covid-19-vaccine-administration#!/

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *