Hnews.id | Bidang Ketenagakerjaan (Bidnaker) DPP PKS menggelar Talkshow yang bertema “Dampak Omnibus Law Kesehatan, Buruh Dilarang Sakit?” pada Senin, (26/6/2023).
Kegiatan yang dilakukan di Aula Kantor DPTP PKS, Jakarta ini menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang untuk memaparkan pandangannya terkait RUU Kesehatan yang dianggap masih belum membela rakyat.
Hadir dari DPP PKS Wakil Ketua Bidnaker Indra, legislator PKS di Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani, Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Joko Heriyono, praktisi kesehatan dr Haznim Fadhli, serta dipandu oleh Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPR RI dapil II DKI Jakarta Bung Rusdi.
Anggota DPR RI Komisi IX Netty Prasetiyani yang juga masuk ke dalam panitia kerja (panja) RUU Kesehatan memaparkan tentang perjalanan pembahasan RUU yang saat ini sudah masuk dalam Rapat Paripurna.
Netty pun menggarisbawahi beberapa catatan Fraksi PKS yang sudah disampaikan dalam Rapat Kerja DPR pada Senin lalu (19/6/2023).
Ia menyoroti penggunaan metode Omnibus Law yang mencabut 11 UU yang sudah ada, yang sifatnya lex specialis dan menjadi UU yang nantinya super generalis
“Yang seharusnya mengatur secara khusus komponen-komponen yang diperlukan dalam pembangunan kesehatan justru menjadi super generalis, yang diatur hanya yang pokok-pokok saja,” ujar Netty yang juga Ketua Bidang Kesejahteraan Sosial DPP PKS.
Pemerintah, sambung Netty, seharusnya melibatkan partisipasi secara luas karena melibatkan begitu banyak UU. Pembahasannya pun cenderung tergesa-gesa untuk UU yang menyangkut hidup rakyat.
“Pembahasannya dilakukan secara tergesa-gesa, padahal yang dibahas ini hidup mati rakyat Indonesia,” ungkap Netty.
Selain itu, dihapusnya Mandatory Spending Kesehatan yang sebelumnya ditentukan sebesar 5 persen APBN dan 10 persen APBD untuk menjamin kesehatan rakyat miskin, Netty sebut sebagai kemunduran bagi upaya menjaga kesehatan masyarakat.
Seorang dokter yang juga aktif di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Pusat dr Haznim menilai aneh sikap pemerintah yang kurang melibatkan partisipasi publik dan cenderung terburu-buru dalam merancang RUU Kesehatan ini. Hal itu berbeda dengan sikap pemerintah yang biasanya selalu mengajak kerja sama organisasi keprofesian tersebut.
“Jadi kami menganggap rumusan yang dibuat sendiri sangat potensial cacat,” ujar dr Haznim.
Ia juga mempertanyakan tentang hilangnya Mandatory Spending, kejelasan pencetakan dokter, dan keamanan data pasien yang belum dijamin dengan RUU ini. Ia pun mempertanyakan untuk siapa pembuatan RUU Kesehatan ini.
“Jangan buru-buru. Pertanyaannya, untuk siapa sih buat (RUU Kesehatan) ini?” ungkapnya mengulang pertanyaan serupa Bung Rusdi. [PKS/ary]