MUI: Isra Mi’raj Hanya Dapat Dipahami dengan Iman

MUI: Isra Mi’raj Hanya Dapat Dipahami dengan Iman

Hnews.id | Bagi kebanyakan orang, Isra Mi’raj dipandang sebagai peristiwa yang tidak wajar dan tidak masuk akal. Akibatnya sukar sekali peristiwa tersebut untuk dipercayai dan diimani.

Menurut Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Anwar Abbas, peristiwa Isra Mi’raj hanya mungkin dipahami dengan pendekatan supra rasional. Menurutnya, pendekatan rasional belum cukup untuk memahami peristiwa agung tersebut.

“Oleh karena itu, untuk memahami peristiwa Isra dan Mi’raj ini kita harus bisa mendekati dan memahaminya melalui pendekatan yang disebut dengan pendekatan supra rasional yaitu dengan mempergunakan pendekatan keimanan kita,” kata dia dalam keterangan, Rabu (7/2/2024)

Buya Anwar menjelaskan, jarak yang ditempuh oleh nabi Muhammad dalam Isra dan Mi’raj untuk sampai ke Arsy tentu lebih jauh dari jarak antar planet-planet yang diketahui manusia.

Jika menggunakan pendekatan rasional, kata dia, maka peristiwa Isra dan Mi’raj tersebut jelas merupakan satu hal yang mustahil. Apalagi kalau mengukurnya dengan alat transportasi pada zaman itu seperti unta dan atau kuda.

“Maka tentu saja Allah SWT dengan kemahakuasaannya akan bisa mengisra’kan dan memi’rajkan nabi Muhammad dalam waktu yang singkat untuk menempuh jarak yang sangat jauh tersebut sehingga peristiwa Isra dan Mi’raj itu hanya berlangsung antara 5 sampai 8 jam saja,” jelas Buya Anwar.

Buya Anwar memaklumi penggunaan rasionalitas secara imani memang sulit bagi sebagian kalangan. Nabi saja, kata dia, juga galau ketika menjelaskan kepada para sahabatnya dan kaum kafir Quraisy tentang peristiwa yang baru saja dialaminya.

Tetapi, bagi mereka yang berhasil mengimaninya terasa sangat mudah untuk dipercaya. Hal itulah yang bisa diteladani dari sahabat Abu Bakar yang langsung membenarkan ketika mendengar cerita nabi. Bagi Abu Bakar, Nabi Muhammad itu adalah Rasulullah.

Menurut Buya Anwar, secara filosofis, Abu Bakar mempergunakan pendekatan yang disebut dengan istilah supra rasional. Dalam bahasa agama atau teologis, menurut dia, Abu Bakar menerima cerita dari peristiwa tersebut dengan mempergunakan kacamata iman.

“Beliau (Abu Bakar) yakin bila Allah SWT sudah berkehendak, maka cukup mengatakan kun (ada) fayakun (maka adalah) yang Allah inginkan tersebut,” ujar Buya Anwar.

Dari peristiwa Isra dan Mi’raj ini, tambah dia, umat Islam dapat mengambil pelajaran bahwa ilmu dan teknologi tidaklah bisa dibandingkan dengan ilmu dan kekuasaan serta kemampuan Tuhan.

Menurutnya, ilmu dan teknologi serta kemampuan manusia sangat terbatas. Sementara, ilmu dan kekuasaan serta kemampuan Allah adalah maha hebat dan tidak terbatas.

“Oleh karena itu, dari peristiwa Isra dan Mi’raj ini kita tahu dan kita sadar bahwa meskipun kita sudah punya ilmu dan teknologi yang hebat, maka tetap saja tidak ada sedikitpun hak bagi kita untuk sombong dan menyombongkan diri di depan-Nya dan juga di depan makhluk-makhluk lainnya,” kata Buya Anwar. [MUI/ary]

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *